Kamis, 26 Juli 2012

IPNU - IPPNU Blubuk gelar Amaliyah Ramadhan 1433 H

BLUBUK - Dalam rangka menyemarakan dan menggiatkan Syiar di bulan Suci Ramadhan, Pimpinan Ranting (PR) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Desa Blubuk, Kecamatan Dukuhwaru menggelar berbagai kegiatan yang bertajuk Amaliyah Ramadhan 1433 H / tahun 2012.

Ketua Panitia Amaliyah Ramadhan, Naufal melalui Sekretarisnya Laelatul Khamidah menjelaskan dalam mengisi kegiatan dibulan Suci Ramadhan tahun 2012 atau bertepatan dengan 1433 H, IPNU dan IPPNU Ranting Desa Blubuk menggelar berbagai kegiatan yang dikemas dalam Amaliyah Ramadhan. Kegiatan tersebut antara lain Tarawih Silaturahim (Tarhim), Buka Puasa bersama dan santunan Anak Yatim, serta Khotmil Qur'an.

"Untuk tarhim sudah mulai berjalan, yakni kita mulai sejak malam ke 5 Ramadhan tepatnya, Selasa (24/7) malam," katanya kemarin.

Dijelaskan Laela sapaan akrab Laelatul Khamidah, pelaksanaan tarhim digelar disemua Masjid dan Mushola se Desa Blubuk yang jumlahnya mencapai 20 dan diatur secara bergilir serta terjadwal.

"Dalam tarhim, usai solat Tarawih diisi dengan Ceramah agama / Mauidoh Khasanah oleh Pembina IPNU - IPPNU," terangnya.

Laela berharap pelaksanaan Tarhim akan menambah syiar Islam, meningkatkan Keimanan dan Ketaqwaan kepada Alloh SWT. Selain itu, juga memperkokoh jalinan silaturahim antara IPNU - IPPNU dengan Warga Nahdliyin se Desa Blubuk.

"Tarhim juga menjadi sarana silaturahim IPNU-IPPNU kepada masyarakat Desa Blubuk," paparnya.

Sementara Ketua IPPNU Desa Blubuk, sri Nani mengatakan IPNU  IPPNU sebagai organisasi otonom NU memiliki tanggung jawab dalam pengembangan potensi pelajar, santri dan remaja khususnya di Desa Blubuk. Oleh karenanya, Amaliyah Ramadhan menjadi sarana melatih kader dalam berkiprah dimasyarakat guna menggiatkan Syiar di Bulan penuh berkah Ramadhan.

"Amaliyah ramadhan ini, juga menjadi sarana melatih potensi kader dalam penanaman nilai - nilai religi," ungkapnya.

Disamping itu, sambung Nani, dalam rangkaian kegiatannya juga diharapkan dapat menumbuhkan semangat kepedulian dan kepekaan sosial kepada sesama yakni kepada anak - anak yatim maupun piatu.

"Insya Alloh, dalam melatih kepedulian dan kepekaan sosial. Kita juga akan berbagi dengan adik - adik kita yatim piatu dalam buka bersama sekaligus pemberian santunan yang rencananya kita agendakan pada minggu akhir Ramadhan," imbuhnya.

Nani berharap seluruh rangkaian kegiatan yang sudah dijadwalkan dan direncanakan akan berjalan lancar dan sukses sesuai dengan dharapan kita bersama.

"Saya mohon dukungan semua pihak, untuk sukses dan lancarnya rangkaian kegiatan Amaliyah Ramadhan ini," Pungkasnya (Hasan).

Kamis, 19 Juli 2012

Pemerintah Tetapkan Awal Ramadhan Sabtu

Jakarta - Setelah mendengarkan pandangan dari para peserta sidang itsbat, pemerintah yang diwakili Menteri Agama Suryadharma Ali menetapkan secara resmi bahwa awal Ramadhan 1433 H jatuh pada hari Sabtu bertepatan dengan 21 Juli 2012 M.

“Setelah memperhatikan dengan seksama bahwa satu Ramadhan itu jatuh pada hari Sabtu tanggal 21 Juli 2012. Apakah hal ini bisa disepakati?” kata Menteri Agama yang memimpin sidang itsbat di kantor Kementerian Agama, Jakarta, Kamis (19/7). Para peserta menjawab “Sepakat..!”

“Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim kami memutuskan dan menetapkan bahwa 1 Ramadhan 1433 H  jatuh pada hari Sabtu tanggal 21 Juli 2012,” kata Menteri Agama sambil mengetukkan palu sidang.

Sidang itsbat sebelumnya mendengarkan pandangan dari 17 orang peserta dari perwakilan ormas Islam seluruh Indonesia, para ahli astronomi dari LAPAN dan Boscha. Sidang juga dihadiri perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Secara umum para peserta sidang menyepakati 1 Ramadhan pada hari Sabtu, kecuali perwakilan dari Front Pembela Islam (FPI).
FPI meminta awal puasa dimulai pada hari Sabtu berdasarkan hasil laporan rukyat di Cakung, Jakarta. Namun hasil rukyat di Cakung ini ditolak, antara lain karena laporan hilal itu didapatkan sebelum terbenam Matahari. “Belum saatnya maghrib, mustahil kalau mereka mendapatkan hilal,” kata Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A. Ghozalie Masroeri dalam sidang itsbat itu yang disambut tepuk tangan para peserta sidang itsbat.
Sementara itu Muhammadiyah sejak awal menyatakan tidak akan mengikuti sidang itsbat. Muhammadiyah telah menetapkan awal Ramadhan jatuh pada Jumat, 20 Juli 2012 dan tidak akan mengikuti hasil sidang itsbat.


Penulis: A. Khoirul AnamSetelah mendengarkan pandangan dari para peserta sidang itsbat, pemerintah yang diwakili Menteri Agama Suryadharma Ali menetapkan secara resmi bahwa awal Ramadhan 1433 H jatuh pada hari Sabtu bertepatan dengan 21 Juli 2012 M.

“Setelah memperhatikan dengan seksama bahwa satu Ramadhan itu jatuh pada hari Sabtu tanggal 21 Juli 2012. Apakah hal ini bisa disepakati?” kata Menteri Agama yang memimpin sidang itsbat di kantor Kementerian Agama, Jakarta, Kamis (19/7). Para peserta menjawab “Sepakat..!”

“Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim kami memutuskan dan menetapkan bahwa 1 Ramadhan 1433 H  jatuh pada hari Sabtu tanggal 21 Juli 2012,” kata Menteri Agama sambil mengetukkan palu sidang.

Sidang itsbat sebelumnya mendengarkan pandangan dari 17 orang peserta dari perwakilan ormas Islam seluruh Indonesia, para ahli astronomi dari LAPAN dan Boscha. Sidang juga dihadiri perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Secara umum para peserta sidang menyepakati 1 Ramadhan pada hari Sabtu, kecuali perwakilan dari Front Pembela Islam (FPI). FPI meminta awal puasa dimulai pada hari Sabtu berdasarkan hasil laporan rukyat di Cakung, Jakarta. Namun hasil rukyat di Cakung ini ditolak, antara lain karena laporan hilal itu didapatkan sebelum terbenam Matahari.

“Belum saatnya maghrib, mustahil kalau mereka mendapatkan hilal,” kata Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A. Ghozalie Masroeri dalam sidang itsbat itu yang disambut tepuk tangan para peserta sidang itsbat.

Sementara itu Muhammadiyah sejak awal menyatakan tidak akan mengikuti sidang itsbat. Muhammadiyah telah menetapkan awal Ramadhan jatuh pada Jumat, 20 Juli 2012 dan tidak akan mengikuti hasil sidang itsbat.


Penulis: A. Khoirul Anam

NU Ikhbarkan Awal Ramadhan Jatuh pada Sabtu

Jakarta - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan ikhbar atau mengumumkan bahwa awal Ramadhan 1433 H jatuh pada hari Sabtu bertepatan dengan 21 Juli 2012. Hal ini berdasarkan hasil ru’yatul hilal bil fi’li atau observasi hilal yang dilakukan oleh Lajnah Falakiyah dan sejumlah ahli falak NU di sejumlah titik rukyat di Indonesia.

“Tim rukyatul hilal NU pada hari Kamis tanggal 19 Juli 2012 M / 29 Sya’ban 1433 H telah melakukan ru’yatul hilal bil fi’li di beberapa lokasi rukyat yang telah ditentukan dan tidak berhasil melihat hilal,” demikian dalam ikhbar PBNU.

Karena hilal tidak terlihat maka umur bulan Sya’ban 1433 H adalah 30 hari (istikmal). “Atas dasar istikmal dan sesuai dengan pendapat al-madzahib arba’ah, maka dengan ini PBNU mengihbarkan bahwa awal bulan Ramadhan jatuh pada hari Sabtu tanggal 21 Juli 2012.”

Dalam surat ikhbar yang ditandatangani KH Ubaidillah Syatori (rais syuriyah), KH Malik Madani (katib aam), KH Said Aqil Siroj (ketua umum tanfidziyah) dan H Marsudi Syuhud (Sekjen) PBNU juga mengimbau umat Islam untuk menunaikan ibadah puasa Ramadhan 1433 H dengan penuh keimanan dan keyakinan.

“Mari menjadikan bulan Ramadhan sebagai momentum kerohanian untuk mensucikan diri dengan meningkatkan ketawqaan dan memperbanyak bacaan Al-Qur’an, dzikir, beribadah dengan penuh kekhusyu’an dan berbagai aktifitas sosial yang bermanfaat,” demikian ikhbar PBNU.

Ikhbar PBNU ini dikeluarkan setelah sidang itsbat atau penetapan awal Ramadhan 1433 H yang dipimpin oleh Menteri Agama Suryadharma Ali di Kantor Kementerian Agama Jakarta telah menetapkan atau itsbat jatuhnya awal Ramadhan.

“Sesuai laporan dan pencermatan telah berkesimpulan bahwa hilal tidak bisa dilihat oleh karenanya 1 Ramadhan 1433 H jatuh pada hari Sabtu 21 Juli 2012 M,” demikian disampaikan Menteri Agama.

Pada saat berita ini diturunkan, sidang itsbat masih sedang mendengarkan berbagai pendapat dari para peserta sidang dari berbagai ormas Islam dan para ahli falak dan astronomi.


Penulis: A. Khoirul Anam

Sumber : http://www.nu.or.id/

AWAL RAMADHAN 1433 : NU Prediksi Sabtu, Kepastian Tunggu hasil Rukyat

Jakarta, NU Online - Nahdlatul Ulama memprediksi hari pertama puasa Ramadlan 1433 H jatuh pada Sabtu tanggal 21 Juli 2012.

“Tapi NU melalui Lajnah Falakiyah, belum menentukan, karena NU akan merukyah. Prediksi kan boleh, tapi tidak boleh memastikan karena menunggu hasil rukyah tanggal 19 Juli.”

Demikian ditegaskan Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama KH A. Ghazali Masroeri di hadapan pengurus lajnah, banom, dan lembaga NU, serta para wartawan dari berbagai media, di gedung PBNU, (18/7) dengan tema Menyambut Ramadlan 1433 H.

Menurut prediksi hisab NU, pada Jumat (20/7) nanti, hilal masih belum sampai kriteria visible. “Prediksinya tinggi hilal baru 1 derajat 38 menit 26 detik. Jadi, belum memenuhi kriteria visibilitas hilal.”

Sesuai kesepakatan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) visibilitas hilal adalah dua derajat.

“NU tidak menentukan jauh-jauh hari karena Rasulullah tidak mengajarkannya. Selain itu, ilmu hisab bagi NU adalah untuk memandu mengarahkan dan mengontrol rukyah. Atau dengan  lain perkataan untuk menghasilkan rukyah yang berkualitas,” tambahnya.

Di sisi lain, sambung Kiai Ghazali, rukyah sebagai instrumen pula untuk uji verifikasi atas hipotesis hisab. “Hitungan manusia itu bener apa nggak?” ujarnya.

Kalau kita hanya menggunakan hisabnya saja, tidak mau melakukan rukyah atau observasi langsung, ilmu hisab jadi stagnan dan mandeg.


Redaktur: Mukafi Niam
Penulis   : Abdullah Alawi 


Sumber : nu online

Rabu, 18 Juli 2012

Sambut Ramadhan, IPNU-IPPNU Blubuk Gelar Khaul Massal


Blubuk – Dalam rangka mensiarkan tradisi Islam Ahlussunah Waljamaah dan sekaligus dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadhan 1433 H, Pengurus IPNU – IPPNU Desa Blubuk menggelar Khaul massal masyarakat Blubuk yang digelar di Masjid Amanah Desa Blubuk, Selasa, (17/7) malam.

Kegiatan yang dihadiri ratusan warga nahdliyin dan jamaah Masjid setempat diawali dengan pembacaan Maulid Dhiba’iyah yang diiringi dengan grup rebana IPNU Desa Blubuk.

Usai pembacaan Maulid Dhiba, kegiatan dilanjutkan dengan acara inti yakni khaul massal Istighosah dan Pembacaan Yaasiin dan Tahlil Kubur yang dipimpin oleh Katib Syuriyah NU Blubuk, Ustadz Junarto Hidayat, S.Ag

Ratusan nahdliyin tampak mengikuti dengan khusu’ dan khidmat pembacaan tahlil kepada ahli kubur hingga dibacakannya do’a kubur.

Ketua Panitia Khaul, AY Irfan M mengatakan khaul massal digelar dengan tujuan untuk menjaga tradisi warga Nahdliyin dan menggiatkan Syiar Islam Ahlussunah Waljamaah di Desa Blubuk.

“Khaul ini untuk menjaga tradisi NU, yakni do’a dan tahlil bersama mendo’akan ahli kubur / saudara muslim yang sudah meninggal,” katanya

Sementara Rois Syuriyah NU Ranting Blubuk, Ustad M Abu Jafar, SHI mengatakan khaul massal ini merupakan awal kegiatan yang baik dalam rangka menyambut datangnya bulan mulia penuh berkah yakni bulan Suci Ramadhan 1433 H.

“Ini tradisi yang baik bagi kita, apalagi menjelang kedatangan bulan penuh ampunan bulan Ramadhan,” ungkapnya.

Selain untuk mendo’akan ahli kubur, ujar Ustad Jafar, acara semacam ini dapat menambah silaturahim dan persaudaraan sesama muslim khususnya warga Nahdliyin.

“Dengan niat yang baik dan ikhlas, mudah – mudahan do’a kita bersama akan di Qobul oleh Alloh SWT.. aamiin.., “ urainya.

Khaul massal juga diisi dengan tausiyah dan ceramah agama oleh Pengurus MWC NU Kecamatan Dukuhwaru, Kyai Misbahudin.

Dalam kesempatan tersebut hadir Pengurus PAC IPNU IPPNU Kecamatan Dukuhwaru, Pengurus NU Ranting Desa Blubuk beserta Badan Otonom NU dan ratusan warga Nahdliyin. (Hasan)

Sabtu, 14 Juli 2012

Aktifis NU Harus Siap Tombok

DUKUHWARU - Menjadi pengurus dalam organisasi NU maupun badan otonom NU seperti Gerakan Pemuda Ansor, janganlah mengharapkan tunjangan maupun honor. Tetapi justru harus siap menjadi ujung tombak dan siap tombok.

“Jadi Pengurus Ansor, jangan mengharap tunjangan, apalagi honor,” Kata Syuriyah NU Ranting Desa Kalisoka Kyai Rukyat saat memberikan pembinaan kepada Pengurus Ranting Gerakan Pemuda Ansor Desa Kalisoka Kecamatan Dukuhwaru Kabupaten Tegal masa khidmat 2012 – 2015 usai dilantik oleh PC GP Ansor Kabupaten Tegal.

Acara yang bersamaan kegiatan Lailatul Ijtima’ Nahdlatul’Ulama Ranting Kalisoka tersebut digelar di Mushola Attaubah, belum lama ini.

Menurut Kyai Rukyat, menjadi pengurus organisasi NU juga diharapkan harus mampu menghidupkan organisasi dan jangan sekali kali hidup di organisasi.

“Hidup untuk NU, jangan hidup di NU,” tegasnya.
Terlebih, sambung Kyai Rukyat, Nahdlatul ‘Ulama (NU) dibentuk tidak sembarangan oleh pendirinya hadrotussyeh KH Hasyim Asyari, dimana NU dibentuk untuk memberikan manfaat dan rahmat bagi umat.

“NU dibentuk oleh KH Hasyim Asyari setelah pulang dari Makah, untuk membawa rahmat dan manfaat bagi umat,” ungkapnya.

Hal senada disampaikan Ketua tanfidiyah NU Kalisoka Ustadz Tofik, menurutnya dalam organisasi NU tidak ada bayaran, tapi malah memberikan sebagian harta kita untuk organisasi.

“Jangan sampai kita cari kehidupan dalam organisasi (NU), tapi mari kita hidupkan organisasi NU untuk kejayaan Islam di Indonesia,” tukasnya.

Tofik berharap pasca dilantiknya pengurus GP Ansor Kalisoka, akan menjadikan GP Ansor Kalisoka lebih maju dan eksis dalam perjuangan meluhurkan agama Islam Ala ahlussunah Waljamaah.

Turut hadir dalam pelantikan yaitu PC GP Ansor Kabupaten Tegal, Pimpinan Anak Cabang GP Ansor Kecamatan Dukuhwaru, Pengurus Ranting NU Desa Kalisoka, Pengurus Badan Otonom NU Kalisoka (Muslimat, Fatayat, IPNU dan IPPNU) serta disaksikan Warga Nahdliyin setempat. (Hasan)

Baca Juga di : gp ansor.org, nu online

Selasa, 10 Juli 2012

GP Ansor Kalisoka Resmi Dilantik


Kalisoka - Kepengurusan GP Ansor Ranting Kalisoka Kecamatan Dukuhwaru Kabupaten Tegal masa khidmat 2012 2015 resmi dilatik oleh Pengurus PC GP Ansor Kabupaten Tegal, Ahad, (8/7) malam. Acara pelantikan bersamaan momentum kegiatan lailatul Ijtima’ Nahdlatul ‘Ulama (NU) Ranting Desa Kalisoka bertempat di Mushola Attoybah dan dihadiri warga Nahdliyin setempat.

Turut hadir dan menyaksikan sejumlah Pengurus NU Kalisoka, Pengurus PAC GP Ansor Kecamatan Dukuhwaru, Pengurus Badan Otonom NU Desa Kalisoka (Muslimat, Fatayat, IPNU dan IPPNU) .

Usai pembaiatan yang dipimpin oleh Pengurus PC GP Ansor Kabupaten Tegal, Sono Sugiarto, S.Ag, dilanjutkan dengan penandatanganan berita acara pelantikan dan penyerahan SK pengesahan Kepengurusan dari PC GP Ansor Kabupaten Tegal, Sono Sugiarto, S.Ag kepada PAC GP Ansor Kecamatan Dukuhwaru yang diwakili Sekretaris PAC, Abdul Muiz, S.Pd.I yang selanjutnya diserahkan langsung kepada Ketua PR GP Ansor yang baru dilantik, Buchori Muslim.

Pengurus PC GP Ansor Kabupaten Tegal, Sono Sugiarto, S.Ag usai pembaitan berharap pasca dilantiknya Kepengurusan GP Ansor Kalisoka, dapat melaksanakan kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat setempat.

Sementara Wakil Ketua PAC GP Ansor Kecamatan Dukuhwaru, Nurkhasan mengatakan dengan resmi dilantiknya pengurus ranting GP Ansor Kalisoka akan menambah syiar Islam ala ahlussunah waljamaah di Desa Kalisoka.

“Setelah PR GP Ansor ini dilantik, Banom NU di Kalisoka menjadi lengkap. Hal ini tentunya akan menjadi lebih semarak dan semangat dalam kegiatan,” katanya.

Khasan juga berharap, dengan pelantikan GP Ansor Kalisoka ini akan menjadi pemicu dan menggugah Desa lain di Kecamatan Dukuhwaru untuk merintis berdirinya ranting GP Ansor, yang tentunya akan menambah lebih semaraknya dan eksisnya GP Ansor.

“Momentum ini diharapkan dapat menggungah desa lain untuk merintis berdirinya ranting Ansor. Dan kami dari PAC, mohon do’a restu dari para ulama dan sesepuh NU untuk mewujudkan hal tersebut,” ungkapnya..

Selain diisi dengan seremonial pelantikan acara juga diisi dengan pembinaan tentang Ke-NU-an oleh Syuriyah NU Ranting Kalisoka, Kyai Rukyat beserta pengurus lainnya.

Sebelumnya, Kepengurusan ranting GP Ansor  Desa Kalisoka masa khidmat 2012 – 2015 yang memberikan mandat kepada Sahabat Buchori Muslim sebagai Ketua Terpilih terbentuk pada Selasa (8/5) lalu.(Hasan)

Sumber : nu online

Minggu, 08 Juli 2012

NU Prediksi 1 Ramadhan Jatuh pada 21 Juli


NU Online, Nahdlatul Ulama (NU) dalam Almanak PBNU yang diterbitkan Lajnah Falakiyah memprediksi tanggal 1 Ramadhan 1433 H jatuh pada Sabtu 21 Juli 2012. Prediksi ini diperoleh berdasarkan ilmu hisab yang paling modern.

“NU telah memprediksi awal Ramadhan, namun bukan berarti NU telah menetapkan tanggal itu. Ini penting disampaikan,” kata Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A. Ghazalie Masroeri dihubungi NU Online di Jakarta, Jum’at (6/7).

Dikatakan, dalam menghitung awal bulan qamariyah atau hijriyah NU menggunakan ilmu hisab yang paling modern. “NU menggunakan hisab yang tahkiki-tadzkiki-ashri,” kata Kiai Ghazalie.

Berdasarkan hisab modern, seperti dalam almanak NU, posisi hilal pada saat dilakukan rukyatul hilal pada Kamis (19/7) atau 29 Sya’ban 1433 H baru berada pada ketinggian 1 derajat 38 menit di atas ufuk. Maka hilal dinyatakan belum visibel (imkanur rukyat) sehingga tidak mungkin dapat dirukyat.

Menurut Kiai Ghazalie, negara-negara yang tergabung dalam MABIM (Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam) menetapkan 2 derajat sebagai batas minimal visibilitas pengamatan. “Itu pun oleh pakar astronomi masih mau dinaikkan menjadi 4 derajat,” katanya.

Ditambahkan, secara astronomis tidak mungkin hilal (bulan sabit) akan bisa diamati jika masih berada di bawah batas visibilitas pengamatan. Dengan demikian almanak PBNU menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari berdasarkan kaidah istikmal.



Penulis: A. Khoirul Anam


Sumber : nu

Minggu, 01 Juli 2012

Ketua MWC NU : NU Punya Kontribusi Besar Pada NKRI


BLUBUK – Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki peran dan kontribusi besar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal tersebut bisa dilihat dari peran para ulama NU dalam menyatukan seluruh elemen bangsa dalam bingkai NKRI.

Hal tersebut ditegaskan Ketua Majlis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul ‘Ulama (NU) Kecamatan Dukuhwaru, Kyai Muhammad Khanafi saat pembukaan Masa Kesetiaan Anggota (Makesta) IPNU dan IPPNU Kecamatan Dukuhwaru di MDA Miftahul ‘Ulum Desa Blubuk Kecamatan Dukuhwaru, Sabtu (30/6).

“Peran NU sangat besar untuk NKRI, oleh karenanya bagi NU, NKRI adalah harga mati,” tegasnya
Oleh karena itu, Kya Khanafi berharap, IPNU dan IPPNU sebagai cikal bakal generasi penerus perjuangan Nahdlatul ‘Ulama (NU) diharapkan siap untuk mempertahankan aqidah Ahlussunah Waljamaah (aswaja) di bumi Indonesia.
“Sebagai cikal bakal penerus NU, IPNU dan IPPNU harus mampu pertahankan aqidah aswaja,” paparnya.
Dikatakan Kyai Khanafi, Makesta merupakan sarana pengkaderan untuk mempertahankan perjuangan nilai – nilai Nahdlatul ‘Ulama (NU) serta guna mengukuhkan persatuan dan kesatuan dikalangan pelajar NU yaitu IPNU dan IPPNU.
“Forum Makesta menjadi media mengukuhkan kesatuan IPNU dan IPPNU,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Ketua Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul ‘Ulama (IPPNU) Kecamatan Dukuhwaru, Evi Mastuti, Makesta merupakan sarana pencetakan kader pemimpin NU yang berakhlakul karimah, militan dan loyalis.
“Melalui makesta diharapkan muncul kader NU yang militan, loyalis dan berakhlakul karimah dan mampu memperjuangkan NU,” pungkasnya. (Hasan).

Sabtu, 30 Juni 2012

73 Peserta Ikuti Makesta PAC Dukuhwaru

BLUBUK - Sejumlah 73 Pelajar NU yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul 'Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul' Ulama Kecamatan Dukuhwaru mengikuti Pengkaderan Masa Kesetiaan Anggota (Makesta). Kegiatan yang bertempat di MDA Miftahul 'Ulum Desa Blubuk Kecamatan Dukuhwaru Kabupaten Tegal dibuka secara resmi oleh Ketua Majlis Wakil Cabang (MWC) NU Kecamatan Dukuhwaru, Kyai Muhamad Khanafi, Sabtu (30/6).

Hadir dalam kesempatan tersebut, Kapolsek Dukuhwaru, Pengurus NU Ranting Blubuk, Pembina, Alumni dan Pengurus PAC / PR IPNU - IPPNU se Kecamatan Dukuhwaru.

Ketua Panitia Makesta, Jelani mengatakan Makesta diikuti perutusan Pimpinan Ranting IPNU dan IPPNU se Kecamatan Dukuhwaru dengan jumlah keseluruhan mencapai 73 peserta.

"Peserta terdaftar berjumlah 35 putra dan 38 putri," katanya.

Jelani berharap melalui Makesta akan lahir kader Nahdlatul 'Ulama yang militan dan loyalis kepada organisasi.

Ketua IPNU Kecamatan Dukuhwaru, Faizal Ali menuturkan Makesta merupakan syarat wajib anggota untuk menjadi pengurus ranting (PR) IPNU, sehingga dengan makesta diharapkan akan tumbuh kader militan yang mampu memajukan NU dimasa depan.

"Diharapkan akan muncul kader, yang siap memajukan Nu di masing - masing desa," tegasnya.

Sementara Ketua MWC NU Kecamatan Dukuhwaru, Kyai Muhamad Khanafi saat membuka acara mengatakan IPNU - IPPNU adalah cikal bakal generasi muda yang akan meneruskan perjuangan NU. Oleh karenanya, Makesta merupakan sarana kaderisasi untuk pertahankan perjuangan NU.

"Pertahankan terus Akidah Ahlussunah Waljamaah," pungkasnya

Kegiatan Makesta direncanakan bakal berlangsung hingga Senin (2/7) mendatang. (Hasan)

Baca Juga di http://www.jatengtime.com/

Jumat, 29 Juni 2012

MAKESTA Siap Digelar Di Blubuk

BLUBUK - Dalam rangka memberikan pengenalan organisasi kepada calon anggota serta mengarahkan pada perubahan jiwa, sikap, mental dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya suatu organisasi dalam kehidupan bermasyarakat, Pimpinan Anak Cabang IPNU - IPPNU Kecamatan Dukuhwaru akan menggelar kegiatan Masa Kesetiaan Anggota (Makesta).

Makesta yang merupakan proses awal secara secara resmi untuk menjadi anggota IPNU dan IPPNU akan dihelat mulai Sabtu (30/6) besok di MDA Miftahul Ulum Desa Blubuk Kecamatan Dukuhwaru.

Berbagai persiapan terus dikebut oleh pihak panitia penyelenggara baik dari PAC Kecamatan Dukuhwaru maupun PR IPNU - IPPNU Blubuk selaku panitia lokal / tuan rumah.



Pengurus IPPNU Ranting Desa Blubuk, Santi Ruciani mengatakan Pihaknya selaku tuan rumah / panitia lokal sudah siap menyambut kedatangan peserta dan mensukseskan hajatan Anak Cabang tersebut.

"Berbagai persiapan terus dilakukan oleh panitia, termasuk Ranting Blubuk selaku Panitia Lokal (Panlok)," terangnya.

Persiapan tersebut, lanjut Santi, antara lain menyiapkan tempat / pusat penyelenggaraan Makesta, transit peserta, PAC/PC dan Narasumber dan berbagai persiapan lainnya.

"Sesuai permintaan PAC, pihak PR sudah menyiapkan 10 transit untuk peserta yang berasal dari rumah warga sekitar lokasi kegiatan," paparnya.

Santi berharap kegiatan Makesta yang dijadwalkan berlangsung hingga Senin (2/7) mendatang bakal berjalan lancar dan sukses sesuai dengan keinginan bersama.

"Mudah-mudahan rangkaian kegiatan Makesta bisa berjalan lancar," pungkasnya.

Terpisah Ketua PAC IPNU Kecamatan Dukuhwaru Faizal Ali menjelaskan, Makesta merupakan gerbang awal pengenalan organisasi IPNU dan IPPNU kepada calon anggota yang bertujuan mencetak kader IPNU - IPPNU yang berwawasan keagamaan dan kebangsaan disertai dengan penalaran organisasi yang tinggi. Selain itu juga sebagai wahana penggalian dan pengembangan potensi kader.

"Dengan Makesta diharapkan akan lahir kader IPNU-IPPNU yang handal, tahan mental dan siap meneruskan estafet perjuangan organisasi," katanya kemarin.

Dikatakan Ijal sapaan akrab Faizal Ali, Makesta yang mengusung tema "Perkuat Basis Gerakan Menuju Militansi Kader Yang Berwibawa" tersebut akan diikuti oleh perutusan PR IPNU dan IPPNU se Anak Cabang Dukuhwaru yang ditargetkan mencapai 100 peserta. Dan direncanakan pembukaan akan dilakukan secara resmi oleh Camat Dukuhwaru atau Ketua MWC NU Dukuhwaru.

"Kami dari PAC mentargetkan 100 peserta IPNU - IPPNU dari perwakilan ranting / Desa se Kecamatan Dukuhwaru," tuturnya. (s@n)

Selasa, 19 Juni 2012

Gapoktan Blubuk dan MAP Gelar Safari Isro Mi’roj


BLUBUK – Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) “Lestari Mulya” Desa Blubuk Kecamatan Dukuhwaru bersama Mitra Andalan Pioneer (MAP) dan Pioneer Kabupaten Tegal menggelar safari Peringatan Isro’ Mi’roj Nabi Muhammad SAW. Kegiatan digelar dibeberapa tempat secara bergantian dengan menghadirkan pembicara KH Mualim dari Bumiayu Kabupaten Brebes.

Ketua Gapoktan Lestari Mulya yang sekaligus Ketua Panitia Pelaksana, Sakroni mengatakan Safari peringatan Isro Mi’roj Nabi Muhamma SAW terselenggara atas kerjasama Gapoktan Lestari Mulya dengan Mitra Andalan Pioneer (MAP) dan PT Dupon Kabupaten Tegal penghasil Jagung Pioneer P27.

“Safari maulid ini bergilir di empat tempat. Kali ini bergilir di Desa Blubuk,” katanya saat Peringatan Isro Mi’roj di Desa Blubuk Senin (18/6) malam.

Dijelaskan Sakroni, sebelumnya safari digelar di Desa Prupuk Kecamatan Margasari dan selanjutnya akan bergilir di dua tempat berbeda yaitu Desa Mulyoharjo Kecamatan Pagerbarang dan Desa Tegalandong, Kecamatan Lebaksiu.

“Usai dari Desa Blubuk, safari akan berlanjut di Desa Mulyoharjo, Pagerbarang dan Tegalandong, Lebaksiu,” jelasnya.

Kepala Desa Blubuk, Warjo saat didaulat memberikan sambutan menyampaikan terimakasih dan menyambut baik atas digelarnya Safari Isro Mi’roj di Desa Blubuk yang dipandegani Pioneer dan MAP bekerjasama dengan Gapoktan Desa Blubuk.

“Saya senang Pioneer bisa merangkul ‘ulama dan para petani dengan menggelar safari Isro Mi’roj ini,” ungkapnya.

Dikatakan Warjo, masyarakat Desa Blubuk mayoritas adalah petani, terlebih tahun ini sudah masuk musim tanam palawija. Oleh karenanya, momentum safari Isro Mi’roj sekaligus sosialisasi Jagung Pioneer P27 sangat tepat dilaksanakan.

“Menjelang musim panen, sekaligus saya ingatkan Bapak Ibu untuk membayar pajak. Karena pajak penting,” imbuhnya mengingatkan.

Sementara itu KH Mualim dalam ceramahnya menuturkan ada beberapa hikmah peringatan Isro Mi’roj Nabi Muhammad SAW yaitu untuk menunjukan kehebatan Nabi Muhammad SAW dan menunjukan kehebatan Alloh SWT.

“Isro Mi’roj juga untuk menguji tingkat keimanan manusia dan pentingnya perintah Ibadah Sholat,” pungkasnya. (Hasan)

Rabu, 13 Juni 2012

Puasa Bulan Rajab

Rajab adalah bulan ke tujuh dari penggalan Islam qomariyah (hijriyah). Peristiwa Isra Mi’raj  Nabi Muhammad  shalallah ‘alaih wasallam  untuk menerima perintah salat lima waktu terjadi pada 27 Rajab ini.

Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram, artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat  bulan haram, ketiganya secara berurutan  adalah: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri,  Rajab.

Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan  ini, Al-Qur’an menjelaskan:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”


Hukum Puasa Rajab

Hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) itu cukup menjadi hujjah atau landasan mengenai keutamaan puasa di bulan Rajab.

Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'"

Menurut as-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.

Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih imam Muslim. Bahkan  berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan  Rajab).

Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumid-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum  di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.

Disebutkan dalam  Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan- bulan haram yaitu dzulqa’dah, dzul hijjah, rajab dan  muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan al-muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.

Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan, telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul SAW menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).


Hadis Keutamaan Rajab

Berikut beberapa hadis yang menerangkan keutamaan dan kekhususan puasa bulan Rajab:

• Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah SAW memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).

• "Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."

• Riwayat al-Thabarani dari Sa'id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana  berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya....."

• "Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut".

• Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku."

• Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”.



Yusuf Suharto
Kontributor NU Online, Sekretaris Aswaja NU Center Jombang

 Sumber : http://www.nu.or.id/

Sabtu, 14 April 2012

Ratusan Pelajar Ikuti Istighosah Jelang Ujian Nasional


BLUBUK – Sedikitnya 500 Siswa Pelajar dari tingkat SD, SMP , SMA dan SMK di Desa Blubuk tampak memadati ruangan dan halaman Masjid Baiturrahman. Bukan tanpa tujuan, tetapi merekan dalam rangka mengikuti Istighosah dan Do’a Bersama menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun 2012.

Minggu, 08 April 2012

KH SHOLEH DARAT

Pelopor Penerjemahan Al-Qur’an

Peran Kiai Soleh Darat dalam menyebarkan Islam tak hanya semasa hidupnya maupun warisan pesantrennya. Sebab murid-muridnya adalah para pendiri organisasi Islam, pengasuh pesantren dan pendakwah agama yang terus menghasilkan kader-kader da’i berikutnya. Sampai akhir zaman.

Wali ini yang hidup sezaman dengan dua waliyullah besar lainnya, Syekh Nawawi Al-Bantani dan Kiai Kholil Bangkalan, Madura ini disebut sebagai gurunya para ulama tanah Jawa.

Murid-muridnya itu, diantaranya, KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Syaikh Mahfudh Termas Pacitan (pendiri Pondok Pesantren Termas), KH Idris (pendiri Pondok Pesantren Jamsaren Solo), KH Sya’ban (ahli falak dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan), KH Munawir (Krapyak Yogyakarta), KH Abdul Wahab Chasbullah Tambak Beras Jombang, KH Abas Djamil Buntet Cirebon, KH Raden Asnawi Kudus, KH Bisri Syansuri Denanyar Jombang dan lain-lainnya. Para murid itu ada yang belajar pada Kiai Soleh Darat sewaktu masih di Mekah maupun setelah di  Semarang. 

”Bisa dikatakan, Kiai Soleh Darat adalah embahnya para ulama di Jawa, karena menjadi guru dari guru ulama yang ada sekarang,” terang KH Ahmad Hadlor Ihsan, mantan Rois Syuriyah PCNU Kota Semarang yang juga pengasuh Ponpes Al-Islah Mangkang, Tugu, Semarang.

Semasa hidupnya, selain mengajar masyarakat awam, Kiai Soleh Darat juga aktif mengisi pengajian di kalangan priyayi. Di antara jamaah pengajiannya adalah Raden Ajeng Kartini, anak Bupati Jepara.

RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Al-Qur’an. Ketika mengikuti pengajian Kiai Soleh Darat di pendopo Kabupaten Demak yang bupatinya adalah pamannya sendiri, RA Kartini sangat tertarik dengan Kiai Soleh Darat.  Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah.

RA Kartini lantas meminta romo gurunya itu agar Al-Qur'an diterjemahkan. Karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Dan para ulama waktu juga mengharamkannya. Mbah Shaleh Darat menentang larangan ini. Karena permintaan Kartini itu, dan panggilan untuk berdakwah, beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf  Arab pegon sehingga tak dicurigai penjajah.

Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an itu diberi nama Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an. Tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Jilid pertama yang terdiri dari 13 juz. Mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Ibrahim.

Kitab itu dihadiahkannya kepada RA Kartini sebagai kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya.

Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”

Melalui kitab itu pula Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Yaitu Surat Al-Baqarah ayat 257 yang mencantumkan, bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minadh-Dhulumaati ilan Nuur).

Kartini terkesan dengan kalimat Minadh-Dhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena ia merasakan sendiri proses perubahan dirinya.

Kisah ini sahih, dinukil dari Prof KH Musa al-Mahfudz Yogyakarta, dari Kiai Muhammad Demak, menantu sekaligus staf ahli Kiai Soleh Darat.

Dalam surat-suratnya kepada sahabat Belanda-nya, JH Abendanon, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan Armijn Pane dengan kalimat “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini.
Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari Al-Qur’an. Kata “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“ dalam bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa manusia dari kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan) ke tempat yang terang benderang (petunjuk, hidayah atau kebenaran).

Kitab Tafsir Kiai Soleh itu, walau tidak selesai 30 juz Al-Qur'an, dicetak pertama kali di Singapura pada tahun 1894 dengan dua jilidan ukuran folio. Sehingga walau pengarangnya telah wafat, pengajian kitab ini jalan terus. Karena referensi pribumi Jawa yang bermukim di tanah melayu. Bahkan kaum muslim di Pattani, Thailand Selatan juga memakai kitab ini.

Hingga kini Karya-karya Mbah Soleh Darat masih dibaca di pondok-pondok pesantren dan majelis taklim  di Jawa. Sebagian besar bukunya sampai sekarang terus dicetak ulang oleh Penerbit Toha Putera, Semarang.

Sederhana plus Progresif
Sebagaimana umumnya ulama, Kiai Soleh Darat sangat bersahaja dan tawadhu. Akhlaknya sangat terjaga dari kesombongan. Dalam semua kitabnya, ia selalu selalu merendah dan menyebut dirinya sebagai orang Jawa awam yang tak faham seluk-beluk Bahasa Arab.

Di prolog kitabnya selalu tertulis  “buku ini dipersembahkan kepada orang awam dan orang-orang bodoh seperti saya”. Dalam pendahuluan Terjemahan Matan al-Hikam terbitan Toha Putra Semarang tertera: “ini kitab ringkasan dari Matan al-Hikam karya al-Allamah al-Arif billah Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Atha’illah. Saya ringkas sepertiga dari asal agar memudahkan orang awam seperti saya. Saya tulis dengan Bahasa Jawa agar cepat dipahami oleh orang yang belajar agama atau mengaji”.

Bahkan, meski beliau keturunan Nabi Muhammad (sayyid/habib), yang nasabnya dari Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) putra Raden Rahmat (Sunan Ampel), hal itu tak pernah dikatakannya. Bagi  Mbah Soleh, orang dihormati karena ilmu dan amalnya. Bukan garis keturunannya.

Kiai Soleh Darat selalu menekankan kepada muridnya agar giat menuntut ilmu. Dia berkata: “Inti sari Al-Qur’an adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan akhirat”.

Diperingatkannya, orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dalam keimanannya, maka akan jatuh pada keyakinan sesat. Sebagai misal, paham kebatinan yang mengajarkan bahwa amal yang diterima Allah adalah amaliyah hati yang dipararelkan dengan paham Manunggaling Kawulo Gusti-nya Syekh Siti Jenar dan berakhir tragis pada perilaku taqlid buta (anut asal ikut).

”Iman orang taklid tidak sah menurut ulama muhaqqiqin (ahli hakikat),” demikian tegasnya.  Kata itu tersurat dalam Kitab Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid karya Mbah Soleh Darat. Lebih jauh beliau peringatkan masyarakat tak terpesona oleh orang yang mengaku memiliki ilmu hakekat tapi meninggalkan syariat seperti sholat dan amalan fardhu lainnya. Kemaksiatan berbungkus kebaikan tetap saja namanya kebatilan, demikian inti petuah beliau.
Tauhid yang Tepat 
Kiai Soleh Darat dikenal sebagai ahli ilmu kalam. Ia adalah pendukung teologi Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturudi. Dalam kitab Tarjamah Sabil al-’Abid ‘ala Jauharah at-Tauhid dia mengemukakan penafsirannya atas sabda Rasulillah SAW mengenai terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan sepeninggal Nabi, dan hanya satu golongan yang selamat.

Menurutnya, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan golongan yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh Rasulillah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan Ahlussunah Waljamaah Al-Asy’ariyah, dan Maturidiyah.

Sebagai ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatan.

Tradisi berpikir kritis dan mengajarkan ilmu agama terus dikembangkan hingga akhir hayatnya.


Ikon Kota Semarang

Menurut Ketua Pengajian Ahad Pagi KH Muhamamd Muin, Kiai Soleh Darat lahir di Dukuh Kedung Jumbleng Kecamatan Mayong, Jepara, sekitar tahun 1820 (1235 H).  Beliau wafat di Semarang, tanggal 18 Desember 1903/28 Ramadhan  1321 H dalam usia 83 tahun.Kata ''Darat'' di belakang nama Kiai Soleh adalah sebutan masyarakat untuk menunjukkan tempat dia tinggal, yakni di Kampung Darat, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara.

Ayahnya, KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang melawan Belanda di wilayah pesisir utara. Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Soleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain.

Lalu bersama ayahnya pergi ke Singapura, belanjut pergi haji sekaligus melanjutkan studi di Mekah. Setelah ayahnya wafat di tanah suci, Soleh berhasil mendapat ijazah dari ulama terkemuka di Mekah dan ia lalu  menjadi guru besar di sana.

Banyaknya umat yang hadir di haulnya, memang menjadi tengara kebesaran namanya. Tak dapat dipungkiri, ulama besar itu memang telah menjadi ikon Semarang di masa lalu.

Mengingat beliau termasuk perintis kemerdekaan, tokoh perlawanan terhadap penjajah melalui ilmu pengetahuan, selayaknya diberi gelar Pahlawan sebagaimana sebagian para muridnya
 
sumber : nu online

KH MUNTAHA AL-HAFIDH

Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat

Kecintaan Allahuyarham Mbah Muntaha sapaan akrab KH. Muntaha Al-Hafizh Kalibebeber Wonosobo terhadap Al-Qur’an tak dapat diragukan lagi. Hampir seluruh usianya dihabiskan untuk menyebarkan dan menghidupkan Al-Qur’an. 
Yang Paling monumental adalah gagasannya membuat mushaf Al-Qur’an Akbar (Al-Qur’an Raksasa) dengan tinggi 2 meter, lebar 3 meter dan berat 1 kuintal lebih. Sebuah karya mahaagung yang sempat dikala itu diusulkan masuk ke Guiness Book Of Record.

KH Muntaha al-Hafizh lahir di desa Kalibeber kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo dan wafat di RSU Tlogorejo Semarang, Rabu 29 Desember 2004 dalam usia 94 tahun. Ada beberapa keterangan berbeda tentang kapan tepatnya Mbah Muntaha Lahir.

Pertama, ada yang mengatakan Kiai Muntaha lahir pada tahun 1908. Kedua, ada pula yang menyatakan bahwa Kiai Muntaha lahir pada tahun 1912. Hal ini didasarkan pada dokumentasi pada KTP / Paspor dan surat-surat keterangan lainnya, Mbah Muntaha lahir pada tanggal 9 Juli 1912.

Ayahanda Kiai Muntaha adalah putra ketiga dari pasangan KH. Asy’ari dan Ny. Safinah. Sebelum Kiai Muntaha, telah lahir dua kakaknya, yakni Mustaqim dan Murtadho.

Sejak kecil hingga dewasa, Kiai Muntaha menimba banyak ilmu dari sejumlah Kiai Pesantren. Sebelum itu, Kiai Muntaha mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya, KH. Asy’ari dan Ny. Safinah.

Lahir dalam keluarga Pesantren, Kiai Muntaha banyak memperoleh didikan berharga dari Ayah dan Ibundanya seperti membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman.   Kedua orang tuanya memang dikenal sangat telaten dan sabar dalam mendidikan putra-putrinya.


Selanjutnya dari Kalibeber, Kiai Muntaha memulai perjalanan menuntut ilmunya ke berbagai Pesantren di tanah air. Kiai Muntaha sebagaimana umunya santri dizaman itu berkenala untuk mencari ilmu dari Pesantren ke Pesantren berikutnya.

Ada satu hal sangat menarik berkaitdan dengan proses pencarian ilmu Kiai Muntaha saat masih muda. Ketika Kiai Muntaha berangkat menuntut ilmu ke Pesantren Kaliwungu, Pesantren Krapyak, dan Pesantren Termas, ia selalu menempuh perjalanan dengan cara berjalan kaki. Melakukan riyadhah demi mencari ilmu semacam itu dilakukan Kiai Muntaha dengan niatan ikhlas demi memperoleh keberkahan ilmu.

Di setiap melakukan perjalanan menuju Pesantren, Kiai Mutaha selalu memanfaatkan waktu sambil mengkhatamkan Al-Qur’an saat beristirahat untuk melepas lelah. Kisah ini menunjukkan kemauan keras dan motivasi spiritual yang tinggi yang dimiliki Kiai Muntaha dalam mencari ilmu.

Setelah berkenalan dari berbagai Pesantren, Kiai Muntaha kembali ke Kalibeber pada tahun 1950. Ia kemudian meneruskan kepemimpinan ayahnya dalam mengembangkan Al- Asy’ariyyah di desa kelahirannya, Kalibeber, Wonosobo.Di bawah kepemimpinan Mbah Muntaha inilah, Al-Asy’ariyyah berkembang pesat. Berbagai kemajuan signifikan terjadi masa ini.

Dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, KH. Muntaha adalah pribadi yang bersahaja. Mbah Muntaha sangat sayang kepada keluarga, santri dan juga para tetangga, serta masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.


Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat
Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an sebenarnya berawal dari kecintaan ayahandanya , Kiai Asy’ari terhadap Al-Qur’an. Dalam usia relatif muda yakni 16 tahun, Kiai Muntaha telah menjadi hafizh Al-Qur’an.

Hampir seluruh hidup Mbah Muntaha didedikasikan untuk mengamalkan dan mengajarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada para santrinya dan juga pada masyarakat umumnya.

Dalam kesehariannya, Mbah Muntaha selalu mengajar para santri yang menghafalkan Al-Qur’an. Para santri selalu tertib dan teratur satu per satu memberikan setoran hafalan kepada Kiai Muntaha. Mbah Muntaha  selalu berjuang untuk menanamkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada santri-santrinya.

Sepanjang hidup Mbah Muntaha, Al Qur’an senantiasa menjadi pegangan utama dalam mengambil  berbagai keputusan, sekaligus menjadi media bermunajat kepada Allah Swt. Mbah Muntaha tidak pernah mengisi waktu luang kecuali dengan Al-Qur’an.

Sering Kiai Muntaha mebaca wirid atau membaca ulang hafalan Al-Qur’an di pagi hari seraya berjemur. Menurutnya, wirid dan dzikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Itulah sebabnya, Kiai Muntaha menasehati para santri untuk mengkhatamkan Al-Qur’an paling tidak seminggu sekali.

Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an juga diwujudkan melalui pengkajian tafsir Al-Qur’an, dengan menulis tafsir maudhu’i atau tafsir tematik yang dikerjakan oleh sebuah tima yang diberi nama Tima Sembilan yang terdiri dari sembilan orang ustadz di Pesantren Al-Asy’ariyyah dan para dosen di Institut Ilmu Al-Qur’an (sekarang UNSIQ) Wonosobo. Gagasan Kiai Muntaha tentang penulisan tafsir ini mengandurng maksud untuk menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada masyarakat luas.


Dan puncak realisasi kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an ditunjukkan dengan perealisasian idenya tentang penulisan Al-Qur’an dalam ukuran raksasa yang sering disebut dengan Al-Qur’an akbar utuh 30 juz.

Al-Qur’an akbar itu ditulis oleh dua santri Al-Asy’ariyyah yang juga mahasiswa IIQ yaitu H. Hayatuddin dari Grobogan dan H. Abdul Malik dari Yogyakarta.  Ketika penulisan Al-Qur’an akbar yang kertasnya merupakan bantuan dari Menteri Penerangan (H. Harmoko di kala itu) itu selesai, Al-Qur’an itu pun diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia di istana negara.

Mungkin Kiai Muntaha melihat banyak orang Islam telah meninggalkan Al-Qur’an, atau bahkan sama sekali tidak mau membaca Al-Qur’an, sehingga Mbah Muntaha tidak henti-hentinya menasehati anggota Hufadz wa Dirasatal Qur’an (YJHQ) untuk terus memasyarakatkan Al-Qur’an. Dakwah serupa juga selalu Mbah Muntaha sampaikan saat Beliau berkunjung ke berbagai belahan dunia seperti Turki, Yordania, Mesir dan lain sebagainya.

Dari hal-hal yang sudah disebutkan, menjadi jelas bahwa sosok dan pribadi Kiai Muntaha al-Hafidz adalah sosok sosok yang sangat mencintai Al-Qur’an secara fisik maupu nbatin. Seluruh hidupnya diperuntukkan untuk berdakwah menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an ke masyarakat.

(Disarikan oleh In'am Al-fajar dari buku KH. Muntaha Al Hafidz,  Pecinta Al Qur’an Sepanjang Hayat oleh Samsul Munir Amin)

Sumber : nu online

Minggu, 11 Maret 2012

NU Dukuhwaru Punya BMT Sendiri


Tegal - Masyarakat Dukuhwaru kini tidak perlu jauh-jauh berhubungan dengan lembaga keungan syariah karena kini Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Dukuhwaru telah mendirikan lembaga keuangan syariah KSU Kowanu BMT SM NU kantor cabang Dukuhwaru. BMT yang didirikan dengan tujuan memberdayakan ekonomi kerakyatan ini  diresmikan Sabtu (10/3) di kantornya jalan raya Slawi-Jatibarang kilometer 5 nomer 62 Gumayun kecamatan Dukuhwaru kabupaten Tegal.

Sabtu, 10 Maret 2012

SEJARAH IPPNU

Sejarah Singkat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul 'Ulama
Bila Presiden RI pertama, Ir Soekarno, pernah mengatakan bahwa “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah” dan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak akan lupa pada sejarah pendahulunya”. Maka demikian pula seharusnya dalam misi perjuangan IPPNU. Roh dari para pendahulu yang demikian berjasa harus selalu mengilhami perjuangan masa kini, tidak akan lupa seorang pemimpin kepada sejarah yang telah membesarkan nama organisasi yang dipimpinnya.

Sejarah kelahiran IPPNU dimulai dari perbincangan ringan oleh beberapa remaja putri yang sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta, tentang keputusan Muktamar NU ke-20 di Surakarta. Maka perlu adanya organisasi pelajar di kalangan Nahdliyat. Hasil obrolan ini kemudian dibawa ke kalangan NU, terutama Muslimat NU, Fatayat NU, GP. Ansor, IPNU dan Banom NU lainnya untuk membentuk tim resolusi IPNU putri pada kongres I IPNU yang akan diadakan di Malang. Selanjutnya disepakati bahwa peserta putri yang akan hadir di Malang dinamakan IPNU putri.

Dalam suasana kongres, yang dilaksanakan pada tanggal 28 Februari – 5 Maret 1955, ternyata keberadaan IPNU putri masih diperdebatkan secara alot. Rencana semula yang menyatakan bahwa keberadaan IPNU putri secara administratif menjadi departemen dalam organisasi IPNU. Namun, hasil pembicaraan dengan pengurus teras PP IPNU telah membentuk semacam kesan eksklusifitas IPNU hanya untuk pelajar putra. Melihat hasil tersebut, pada hari kedua kongres, peserta putri yang terdiri dari lima utusan daerah (Yogyakarta, Surakarta, Malang, Lumajang dan Kediri) terus melakukan konsultasi dengan jajaran teras Badan Otonom NU yang menangani pembinaan organisasi pelajar yakni PB Ma’arif (KH. Syukri Ghozali) dan PP Muslimat (Mahmudah Mawardi). Dari pembicaraan tersebut menghasilkan beberapa keputusan yakni:

1. Pembentukan organisasi IPNU putri secara organisatoris dan secara administratif terpisah dari IPNU
2. Tanggal 2 Maret 1955 M/ 8 Rajab 1374 H dideklarasikan sebagai hari kelahiran IPNU putri.
3. Untuk menjalankan roda organisasi dan upaya pembentukan-pembentukan cabang selanjutnya ditetapkan sebagai ketua yaitu Umroh Mahfudhoh dan sekretaris Syamsiyah Mutholib.
4. PP IPNU putri berkedudukan di Surakarta, Jawa Tengah.
5. Memberitahukan dan memohon pengesahan resolusi pendirian IPNU putri kepada PB Ma’arif NU. Selanjutnya PB Ma’arif NU menyetujui dan mengesahkan IPNU putri menjadi Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU).

Dalam perjalanan selanjutnya, IPPNU telah mengalami pasang surut organisasi dan berbagai peristiwa nasional yang turut mewarnai perjalanan organisasi ini. Khususnya di tahun 1985, ketika pemerintah mulai memberllakukan UU No. 08 tahun 1985 tentang keormasan khusus organisasi pelajar adalah OSIS, sedangkan organisasi lain seperti IPNU-IPPNU, IRM dan lainnya tidak diijinkan untuk memasuki lingkungan sekolah. Oleh karena itu, pada Kongres IPPNU IX di Jombang tahun 1987, secara singkat telah mempersiapkan perubahan asas organisasi dan IPPNU yang kepanjangannya “Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama” berubah menjadi “Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama”.

Selanjutnya, angin segar reformasi telah pula mempengaruhi wacana yang ada dalam IPPNU. Perjalanan organisasi ketika menjadi “putri-putri” dirasa membelenggu langkah IPPNU yang seharusnya menjadi organisasi pelajar di kalangan NU. Keinginan untuk kembali ke basis semula yakni pelajar demikian kuat, sehingga pada kongres XII IPPNU di Makasar tanggal 22-25 Maret tahun 2000 mendeklarasikan bahwa IPPNU akan dikembalikan ke basis pelajar dan penguatan wacana gender.

Namun, pengembalian ke basis pelajar saja dirasa masih kurang. Sehingga pada Kongres ke XIII IPPNU di Surabaya tanggal 18-23 Juni 2003, IPPNU tidak hanya mendeklarasikan kembali ke basis pelajar tetapi juga kembali ke nama semula yakni “Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama”. Dengan perubahan akronim ini, IPPNU harus menunjukkan komitmennya untuk memberikan kontribusi pembangunan SDM generasi muda utamanya di kalangan pelajar putri dengan jenjang usia 12-30 tahun dan tidak terlibat pada kepentingan politik praktis yang bisa membelenggu gerak organisasi. Namun perlu juga dipahami bahwa akronim “pelajar” lebih diartikan pada upaya pengayaan proses belajar yang menjadi spirit bagi IPPNU dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan seluruh komponen masyarakat Indonesia dengan mengedepankan idealisme dan intelektualisme .

Visi Misi IPPNU

Visi perjuangan IPPNU adalah terbentuknya kesempurnaan pelajar putri Indonesia yang bertakwa, berakhlakul karimah, berilmu dan berwawasan kebangsaan. Yang kemudian dijabarkan dalam misi perjuangannya yakni:

* Membangun kader NU yang berkualitas, berakhlakul karimah, bersikap demokratis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
* Mengembangkan wacana dan kualitas sumberdaya kader menuju terciptanya kesetaraan gender.
* Membentuk kader yang dinamis, kreatif dan inovatif.

Sifat, Fungsi, Azas dan Aqidah

a. Sifat

IPPNU bersifat keterpelajaran, kekeluargaan , kemasyarakatan dan keagamaan.

b. Fungsi

o Wadah berhimpun pelajar Nu untuk melanjutkan semangat jiwa dan nilai-nilai nahdliyin

o Wadah komunikasi pelajar NU dalam pelaksanaan dan pengembangan syariat Islam

o Wadah aktualisasi pelajar NU dalam pelaksanaan dan pengembangan syaria’at Islam

c. Azas

Berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

d. Aqidah

Beraqidah Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal jama’ah dengan mengikuti salah satu madzhab hanafi, syafi’i, maliki dan hambali

Tujuan

Ø Membangun kader NU yang berkualitas, berakhlakul karimah, bersifat demokratis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ø Mengembangkan wacana dan kualitas sumber daya kader menuju terciptanya kesetaraan gender.

Ø Membentuk kader yang dinamis, kreatif dan inovatif.

sumber : http://pcnukabtegal.or.id/?option=sej_ippnu

SEJARAH IPNU

Sejarah Singkat Ikatan Pelajar Nahdlatul 'Ulama
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (disingkat IPNU) adalah badan otonom Nahldlatul Ulama yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan NU pada segmen pelajar dan santri putra. IPNU didirikan di Semarang pada tanggal 20 Jumadil Akhir 1373 H/ 24 Pebruari 1954, yaitu pada Konbes LP Ma’arif NU. Pendiri IPNU adalah M. Shufyan Cholil (mahasiswa UGM), H. Musthafa (Solo), dan Abdul Ghony Farida (Semarang).

Ketua Umum Pertama IPNU adalah M. Tholhah Mansoer yang terpilih dalam Konferensi Segi Lima yang diselenggarakan di Solo pada 30 April-1 Mei 1954 dengan melibatkan perwakilan dari Yogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri.
Berawal dari ide para putra Nahdlatul Ulama, yakni pelajar dan santri pondok pesantren untuk mendirikan suatu kelompok atau perkumpulan .
• Pada tahun 1939 lahir PERSANO (Persatoean Santri Nahdlatoel Oelama).
• Pada tahun 1947 Lahir IMNU (Ikatan Murid Nahdlatul Ulama) di Malang.
• Pada tahun 1950 berdiri IMNU (Ikatan Mubaligh Nahdlatul Ulama di Semarang.
• PARPENO (Persatoean Pelajar Nahdlatoel Oelama) di Kediri.
• Di Bangil berdiri Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Ulama.
Namun organisasi-organisasi yang telah berdiri di atas masih berjuang sendiri-sendiri dan tidak mengenal di antara satu sama lain.
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, maka Almarhum Tholcha Mansyur (Malang), Sofyan Cholil (Jombang), H. Mustamal (Solo) bermusyawarah untuk mempersatukan organisasi-organisasi tersebut dalam satu wadah, satu nama dan satu faham dengan nama IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) saat berlangsung kongres LP Ma’arif di Semarang pada tanggal 24 Februari 1954/20 Jumadil akhir 1373 Hijriyah.
Pada kongres ke VI di Surabaya IPNU menjadi badan otonom NU (Nahdlatul Ulama). Sehingga IPNU Berhak mengatur rumah tangganya sendiri baik ke luar maupun ke dalam, tidak lagi tergantung kepada kebijakan LP Ma’arif.
Pada perkembangan selanjutnya IPNU berubah nama menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama saat kongres ke X di Jombang disebabkan organisasi pelajar yang diakui pemerintah hanya OSIS sebagai organisasi intra sekolah dan Pramuka sebagai organisasi ekstra sekolah. Sehingga ladang garap IPNU tidak hanya pelajar dan santri saja, tetapi juga pemuda, remaja dan mahasiswa.
Di dalam kongres XIV tanggal 18 – 24 Juni 2003 di Surabaya IPNU sepakat untuk kembali ke habitatnya semula dengan berganti nama menjadi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dengan orientasi pelajar, santri dan mahasiswa.
Lahirnya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan wadah pengkaderan bagi generasi muda NU yang bersumber dari kalangan pesantren dan pendidikan umum, yang diharapkan dapat berkiprah di berbagai bidang, baik politik (kebangsaan), birokrasi, maupun bidang-bidang profesi lainnya. Pada awalnya embrio organisasi ini adalah berbagai organisasi atau asosiasi pelajar dan santri NU yang masih bersifat lokal dan parsial.
Pada tahun 1988, sebagai implikasi dari tekanan rezim Orde Baru, IPNU mengubah kepanjangannya menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama. Sejak saat itu, segmen garapan IPNU meluas pada komunitas remaja pada umumnya. Pada Kongres XIV di Surabaya pada tahun 2003, IPNU kembali mengubah kepanjangannya menjadi “Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama”. Sejak saat itu babak baru IPNU dimulai. Dengan keputusan itu, IPNU bertekad mengembalikan basisnya di sekolah dan pesantren.
Tujuan IPNU
Terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah swt., berilmu, berakhlaq mulia, dan berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Di bidang pendidikan IPNU mempunyai tujuan:
• Untuk memelihara rasa persatuan dan kekeluargaan di antara pelajar umum, santri dan mahasiswa.
• Membina dan meningkatkan pendidikan dan kebudayaan Islam.
• Meningkatkan harkat masyarakat Indonesia yang berasusila dan mengabdi kepada agama, bangsa dan negara.
Trilogi IPNU
Konsep dasar perjuangan IPNU di masyarakat pelajar
Belajar – Berjuang – Bertaqwa
Citra Diri IPNU
Citra diri IPNU & IPPNU dilandasi oleh pokok-pokok pikiran bahwa manusia bertanggung jawab melaksanakan misi khalifah, yaitu memelihara, mengatur, dan memakmurkan bumi. Makna dan fungsi manusia sebagai khalifah memiliki dua dimensi, yaitu dimensi sosial (horizontal) dan dimensi ilahiah (vertikal)
  1. Sosial bermakna mengenal alam, memikirkannya, dan memanfaatkan alam demi kebaikan dan ketinggian derajat manusia sendiri.
    Ilahiah yaitu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan Allah SWT.
  2. Secara sosiologis manusia merupakan suatu komunitas yang memiliki nila-nilai kemanusiaan (moral, nilai sosial dan nilai keilmuan)
Visi IPNU adalah terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak mulia dan berwawasan kebangsaan serta bertanggungjawab atas tegak dan terlaksananya syari’at Islam menurut faham ahlussunnah wal jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mewujudkan visi tersebut, IPNU melaksanakan misi: (1) Menghimpun dan membina pelajar Nahdlatul Ulama dalam satu wadah organisasi; (2) Mempersiapkan kader-kader intelektual sebagai penerus perjuangan bangsa; (3) Mengusahakan tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan program perjuangan sesuai dengan perkembangan masyarakat (maslahah al-ammah), guna terwujudnya khaira ummah; (4) Mengusahakan jalinan komunikasi dan kerjasama program dengan pihak lain selama tidak merugikan organisasi.

Sebagai salah satu perangkat organisasi NU, IPNU menekankan aktivitasnya pada program kaderisasi, baik pengkaderan formal, informal, maupun non-formal. Di sisi lain, sebagai organisasi pelajar, program IPNU diorientasikan pada pengembangan kapasitas pelajar dan santri, advokasi, penerbitan, dan pengorganisasian pelajar.
Kondisi IPNU Pra Khittah NU
IPNU telah melangkah menuju kemajuan dan kiprahnya telah diakui masyarakat. Namun pada perkembangannya tidak dapat mencapai puncak programnya, karena NU sebagai organisasi induknya pada saat itu masih terbawa arus politik sehingga ummat tidak menjadi perhatian utama.
IPNU Pasca Khittah NU
Perkembangan pasca khittah NU dan Kongres Jombang sangat menggembi-rakan karena khittah mampu mencipatkan iklim yang kondusif bagi pengem-bangan organisasi.
Namun IPNU menyadari bahwa sumbangannya sendiri dan masyarakat luas belum banyak. Dan generasi muda sebagai tenaga potensial pembangunan nasional membutuhkan pembinaan, maka IPNU memandang mendesak adanya konsep Citra Diri IPNU dalam rangka meningkatkan keperansertaannya dalam pembangunan bangsa. Alumni IPNU yang Menjadi Orang Besar
IPNU sebagai salah satu organisasi pelajar yang berskala nasional telah menumbuhkan berbagai tokoh-tokoh yang mempunyai peran penting dalam kemajuan Bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam. Tokoh-tokoh tersebut antara lain:
  1. Bapak KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
    • Mantan ketua IPNU Komisariat PP Tambakberas Jombang
    • Mantan Presiden RI
    • Ketua Dewan Syuro PKB
  2. Bapak Prof. Dr. KH. M. Tolhah Hasan (Singosari)
    • Duduk sebagai Ketua cabang IPNU Malang ketika masih di bangku SLTP
    • Mantan Menteri Agama (Kabinet Indonesia Bersatu-Era Gus Dur)
    • Pernah menghadap Bupati Malang dengan hanya memakai celana pendek (seragam SLTP pada waktu itu)
  3. Bapak Dr. KH. A. Hasyim Muzadi (Malang)
    • Mantan Ketua Cabang Tuban
    • Ketua Pengurus Besar NU sekarang di Jakarta
    • Sekjen ICIS (International Conference of Islamic Scholars – Forum silaturahmi ulama & cendekiawan Islam sedunia)
  4. Bapak Hamzah Haz
    • Mantan ketua Pengurus Cabang NU Kutai
    • Mantan Wakil Presiden RI
    • Ketua Umum DPP PPP
    Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.
Kini IPNU telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah di tingat provinsi dan 374 Pimpinan Cabang di tingkat kabupaten/kota. Sampai dengan tahun 2008, anggota IPNU telah mencapai lebih dari 2 juta pelajar santri yang telah tersebar di seluruh Indonesia.(Diambil dari   http://majelis-alumni-ipnu.org/index.php?option=com_content&view=article&id=2&Itemid=5 serta berbagai sumber lain)

SEJARAH FATAYAT NU

Sejarah Singkat Fatayat Nahdlatul 'Ulama
Latar belakang berdirinya Fatayat sebenarnya tak pernah lepas dari faktor pendidikan, khususnya pendidikan untuk anak-anak perempuan dan keagamaan. Baik pendidikan formal maupun non formal.
Selain menyangkut soal pendidikan, ketika itu juga kita memberikan perhatian untuk menggalang kerja sama dengan unsur-unsur kepemudaan lain. Dulu ada forum untuk Ormas Pemuda Islam. Jika ada masalah, kita bertemu di forum tersebut sebelum diselesaikan ke forum yang lebih besar. Forum-forum kepemudaan Islam ini pula yang menjadi embrio lain dari KNPI. Pada tahun 1954, saat Muslimat membicarakan perkawinan di bawah umur dan pemberantasan buta huruf, Fatayat terlibat juga secara intensif. Ada pleno dimana Fatayat-Muslimat bergabung. Kemajuan pemikiran yang muncul saat itu adalah adanya keputusan bahwa kalangan Muslimat sudah harus diberi kesempatan sebagai pemimpin publik dalam arti sesungguhnya. Bukan saja di intern Muslimat, tapi di masyarakat secara luas. Karena itu, sudah muncul tuntutan agar kalangan Muslimat juga berhak dicalonkan menjadi anggota legislatif. Pada tahun 1955, sudah ada wakil Muslimat yang duduk di DPR-RI, yakni Ibu Machmudah Mawardi dan Ibu Asmah Syahruni. Pada Muktamar NU tahun 1957, diputuskan secara resmi keterlibatan wanita NU di politik, meski pada Pemilu sebelumnya, yaitu tahun 1955, sudah ada anggota legislatif perempuan dari NU yang memperoleh 5 kursi dari fraksi NU. Di Konstituante, seingat saya, bertambah menjadi 9 orang, diantaranya Ibu Nihayah Bakry yang kemudian dikenal dengan Ibu Nihayah Maksum. Menurut saya, untuk situasi saat itu perempuan sudah sangat maju.

Banyak Muslimat NU yang mengambil posisi di legislatif. Ini wajar, karena sejak tahun 1950-an, dalam struktur NU, Muslimat sudah menjadi anggota pleno PBNU. Tahun 1956-an sudah ada anggota Syuriah PBNU dari perempuan, yakni Ibu Khairiyah Hasyim dan Ibu Nyai Fatmah dari Surabaya. Keduanya menjadi a’wan. Tahun-tahun kemudian dilanjutkan oleh Ibu Machmudah Mawardi, yang semula menjadi eksekutif di Departemen Agama (Depag), tapi kemudian ‘hijrah’ ke legislatif. Selain itu, dari tokoh-tokoh Muslimat ada Ibu Aisyah Dahlan, yang pernah menjadi Sekretaris Menteri Agama (Menag) dan Ibu Abidah Maksum dari Jombang yang menjadi hakim agama wanita pertama

Tahun 1962, pada Muktamar PBNU di Solo, muncul perdebatan boleh tidaknya Muslimat menjadi kepala desa (Kades). Waktu itu ada anggota Muslimat yang akan mencalonkan diri sebagai Kades, tapi tak ada rujukannya mengenai dibolehkan atau tidak dalam agama. Keputusan PB Syuriah NU ternyata memperbolehkan. Keputusan itu luar biasa maju, karena Fatayat dan Muslimat di-sah-kan untuk tampil di ruang publik. Pada Muktamar di Solo inilah Fatayat NU resmi menjadi badan otonom (Banom) NU.

Dalam kerangka mendobrak tradisi NU, ibu Ny. S. A. Wahid Hasyim sempat menggugat penggunaan tirai tinggi yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Waktu itu beliau berkata, “Saya nggak mau pakai tirai!”. Maka diaturlah pemisahan laki-laki dan perempuan masih tetap dengan tirai, tapi bukan dengan kain putih, melainkan dengan pot-pot pohon yang diatur rapi, berjajar ke belakangnya. Ada tirai, tapi di sela-sela daunnya kita masih dapat melihat ke bagian laki-laki.

Pemikiran ayah saya juga sejak awal sudah progresif dengan mendirikan Pesantren An-Nizhamiyyah. Bahkan kakek dari pihak ibu, KH. Bisri Syamsuri, sekitar tahun 1926-1927, sudah mendirikan pesantren khusus untuk perempuan di Denanyar, Jombang. Khadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sempat menantang. Tapi jalan terus. Mbah Bisri (KH. Bisri Syamsuri) juga memberi banyak kelonggaran dalam hal pergaulan kepada puteri-puterinya. Longgar dalam pengertian boleh bertemu siapa saja, asal ditemani yang lebih tua Hanya saja, Mbah Bisri itu keras dalam menegakkan aturan agama. Contohnya, ibu saya kawin dengan ayah sudah menjanda, tapi ketika suami pertama yang tidak pernah dikenalnya meninggal, tetap memberlakukan masa iddah kepadanya.

Pada masa pemerintahan Soekarno, peran perempuan sudah maju. Menteri Perburuhan pada masa beliau adalah seorang wanita, Ibu SK Trimurti. Soekarno juga memberi peluang besar bagi perempuan untuk berkarir. Contohnya, Ibu Supeni, yang menjadi Duta Besar Khusus dan pegawai tinggi pendidikan; Ibu Rosiyah Sarjono, yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal Depsos dan kemudian menjadi Menteri Sosial. Bahkan, pada tahun 1948, Ibu Herawati Diah sudah mengikuti Kongres Perempuan India di New Delhi. Berbeda benar dengan pemerintahan Presiden Soeharto pada era Orde Baru, perempuan ditempatkan sebagai ‘pendamping’.

Dalam hal ini, wajar kalau saya menuntut perempuan NU ada dalam kepengurusan PBNU, sebab ketika NU membahas persoalan yang berkaitan dengan perempuan, dan dirinya tidak dilibatkan, maka hal ini tidak adil bagi perempuan. Apalagi jika periode-periode sebelumnya sudah ada perempuan di Syuriah NU. Keterlibatan perempuan di PBNU ini sangat penting untuk mewakili kepentingan Muslimat, Fatayat, IPPNU dan lain-lainya. Tapi tuntutan tersebut belum diterima sebagian besar pengurus PBNU sekarang.

Pada Muktamar NU di Lirboyo, saya berjuang habis-habisan untuk soal keterwakilan perempuan dalam jajaran kepengurusan di PBNU ini. Hanya saja, ketika itu ditolak dan saya merasa salah strategi. Seharusnya para kiai disowani sebagaimana ketika kita mau meng-gol-kan program KB, hingga akhirnya pada 25 September 1969, ada pedoman penyelenggaraan KB di lingkungan keluarga NU. Ketika pendekatan itu tak dilakukan, saya langsung menyadari bahwa ini salah strategi. Apalagi di NU itu tak ada kultur konfrontatif.
 
Pengalaman Pasang-Surut
Pada masa-masa awal kepengurusan di Fatayat, yang menjadi Ketua Umum (Ketum) adalah Muslimat, tapi yang menjadi Sekretaris Umum (Sekum) dari Fatayat; seperti ex offisio. Dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan, Muslimat mendirikan sekolah, tapi guru-gurunya dari Fatayat. Hubungannya dulu seperti adik-kakak saja. Sekarang, agaknya hubungan Muslimat-Fatayat begitu longgar.

Semula Kongres Fatayat–Muslimat menyatu dengan Muktamar NU, tapi tahun 1967 di Surabaya, kongres mulai terpisah. Pertimbangannya, ketika NU membahas suatu persoalan, Muslimat dan Fatayat posisinya hanya sebagai “penggembira”. Lantas, kapan kita dapat mengurusi diri sendiri? Tapi anehnya, sejak tahun 1967-1979 terjadi kevakuman di Fatayat dan Muslimat. Sebabnya, seperti diketahui, hampir seluruh anggota Muslimat-Fatayat adalah guru dan pegawai negeri; dan saat itu diberlakukan praktik monoloyalitas hanya kepada Golkar, dan banyak anggota Fatayat yang dihantui rasa ketakutan untuk menjadi pengurus.

Ada cerita, ketika Ibu Asmah Syahruni dan Ibu H. S.A. Wahid Hasyim ke daerah, sering dikirimi surat penolakan untuk datang ke rumah pengurus Muslimat. Misalnya, mantan Ketua Muslimat Ponorogo menolak didatangi karena ada anaknya yang menjadi lurah. Daripada membahayakan anaknya yang lurah itu, dia kirim surat yang isinya: “Saya masih tetap cinta Muslimat, tapi jangan datang ke rumah saya.” Suasananya sampai seperti itu dan dialami oleh organisasi-organisasi yang lain. Jadi, masa-masa surutnya sebenarnya bukan karena faktor internal, tapi faktor eksternal. Karena situasi politik yang mengakibatkan kevakuman itu terjadi.
Secara internal, Fatayat pada waktu itu sebenarnya tidak ada masalah. Masih ada arisan antarpengurus, peringatan hari-hari besar Islam, dan pelbagai aktivitas keagamaan lainnya. Hanya saja kepengurusannya di beberapa daerah menjadi vakum. Jadi, wajar saja kalau pada saat itu ada beberapa aktivis NU, termasuk Fatayat dan Muslimat kemudian masuk Golkar dengan alasan mencari aman.

Pada Muktamar NU di Semarang tahun 1979, Kongres Muslimat-Fatayat digabung lagi. Perubahan terjadi di Fatayat NU. Sebagian besar pengurus PP Fatayat merasa sudah terlalu tua menjadi Fatayat. Terjadi alih generasi dari Ibu Malichah Agus ke Ibu Mahfudhoh.
Perubahan drastis dimulai saat Fatayat dipimpin Ibu Mahfudhoh. Pada masa kepemimpinan beliau, Fatayat mempunyai program yang disebut: Kelangsungan Hidup Anak (KHI). Program itu sebenarnya punya Muslimat, Pembinaan Karang Balita, tapi kemudian diserahkan ke Fatayat dan diformulasikan dalam bentuk kerja sama dengan UNICEF dan DEPAG dalam bentuk KHI. Dokumen tertulis penyerahannya ada.

Dalam pelaksanaan KHI, ada dana untuk pengurus. Saya melihat sebagai awal perubahan karena Fatayat akhirnya mengetahui uang dan ukurannya semua uang, sehingga melupakan asal muasal jati dirinya. Perubahan lain adalah kerenggangan hubungan Fatayat-Muslimat. Tak ada hubungan yang kental lagi sebagaimana sebelumnya. Selain itu, mulai terjadi konflik internal antarMuslimat-Fatayat. Semua itu berlangsung sampai sekarang. Mungkin saja sumber konfliknya hilang, tapi yang tersisa hingga sekarang adalah faktor kedekatannya pun hilang. Apalagi Fatayat merasa sudah sejajar dengan Muslimat dan lembaga-lembaga otonom lainnya. Padahal, Fatayat lahir karena Muslimat, bukan karena NU! Ketika Fatayat menjadi badan otonom, dan bukan lagi sebagai subordinat Muslimat, saat itu Kiai Wahab Chasbullah mengatakan: “Opo Fatayat itu, digendong kok mbrosot ae!”. Maksudnya, Fatayat itu dulu digendong-gendong, direngkuh-rengkuh, tapi ‘kok maunya memisahkan diri saja. Itu yang tak terekam dalam sejarah Fatayat yang sesungguhnya.

Pada kepengurusan Dr. Sri Mulyati Asrori dan Ermalena HS, tampaknya Fatayat berkeinginan kuat untuk mengembangkan diri. Networking dibangun. Tetapi pada sisi lain, organisasi Fatayat sudah jauh dari semangat awal pendirian, yakni memelihara budaya Islam dan kultur santri.
Ketika saya menjadi Ketua Umum Muslimat, saya selalu mengundang teman-teman dari Fatayat, IPPNU, KORPRI, untuk bincang-bincang di Kantor PP Muslimat, supaya ada tetap sambung rasa. Tradisi itu sebelumnya sudah dilakukan oleh Dr. Fahmi Saefuddin dan Ibu Sholehah Wahid Hasyim. Bahkan, dulu ada semacam lembaga koordinasi perempuan NU yang melibatkan Muslimat, Fatayat, dan IPPNU.

Saya ingin melihat Muslimat-Fatayat sekarang ini kedekatannya seperti itu. Ini memang perlu transformasi pemikiran. Barangkali yang harus disadari: Fatayat mungkin jauh lebih maju pemikirannya, tapi Muslimat lebih kaya dalam pengalaman. Pada titik ini perlu sinergi yang lebih baik.
Terus terang, saya kagum sekali pada adik-adik Fatayat sekarang yang pemikirannya begitu fresh, tapi bisa turn in dalam masalah kemasyarakatan. Dulu kami merasa sudah sangat maju, tapi ternyata sekarang mereka justru lebih maju.
Hemat saya, dulu itu kerja sama terjalin dengan baik karena ada unsur keikhlasan. Sekarang ini tampaknya keikhlasan sudah pudar. Keikhlasan yang saya maksudkan adalah: keikhlasan untuk memimpin, keikhlasan untuk dipimpin. Juga keikhlasan untuk saling mengambil manfaat secara bersama-sama. Sekarang? Saya rasa sudah tak ada lagi….
 
Jaringan Kerja Fatayat
Sekitar tahun 1960-an, Ibu Machmudah Mawardi, Ibu S. A. Wahid Hasyim, Ibu Syamsurizal, Ibu Pudjo Utomo, dan lain-lain, mendirikan Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) sebagai wadah persatuan wanita-wanita Muslim. Di BMOIWI ini Fatayat juga bergabung untuk memperjuangkan kepentingan perempuan dan Islam.
Di dalam sebuah organisasi persatuan pemuda Islam (gabungan pemuda Islam), Fatayat pun terlibat aktif. Demikian pula dalam Kongres Pemuda yang terdiri dari unsur-unsur Pemuda, seperti Pemuda Marhaen, GP Ansor, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Sosialis, dan lain-lain.
Kenapa Fatayat harus ada di mana-mana? Fatayat mempunyai dua muka yang tak terpisahkan: keperempuanan dan kepemudaan. Karena itu dia aktif di BMOIWI dan KNPI. Bahkan, sejak tahun 1988-an, Fatayat masuk ke Kowani. Kita dapat bekerja sama dengan mereka, ketika kita menghadapi konfrontasi dengan Malaysia, Fatayat dan Muslimat aktif sebagai sukarelawan.
 
Fatayat Sekarang
Menurut saya, Fatayat sekarang terlalu banyak berorientasi keluar, sehingga pembinaan internal kurang sekali. Saya tahu karena sering ke daerah, ketemu dengan para pengurus wilayah atau cabang.
Tapi yang menarik dari Fatayat sekarang, sebagaimana pandangan teman-teman dari kalangan LSM –bukan pandangan saya–, Maria Ulfah itu pendobrak ‘kebekuan’ internal Fatayat. Lihat saja beda Muslimat dan Fatayat tentang legal abortion (pengesahan aborsi). Muslimat tak setuju, kecuali dengan catatan, tapi Fatayat menganggapnya legal dan layak dilakukan.
Menurut saya, pengesahan aborsi itu boleh saja dilakukan jika sesuai dengan hukum agama dan didasarkan pada kebutuhan. Misalnya, kehamilan yang bisa mengancam kesehatan ibu, maka aborsi bisa dilakukan. Malah saya mengusulkan, ada baiknya pemerintah mempunyai sarana pelayanan resmi dengan prosedur yang ekstra ketat. Prosesnya juga singkat: cukup disuntik atau disedot. Praktik tersebut telah dilakukan di Turki, sebagaimana yang pernah saya lihat.
Pada sisi lain, saya mungkin termasuk orang yang konservatif juga. Misalnya pada masalah lesbianisme atau homoseksual, saya tak bisa menerimanya, karena Allah tegas-tegas melarang sebagaimana yang terdapat pada kasus Sodom dan Gomorah. Mereka itu harus dirangkul dan disadarkan. Jangan sampai melegalkan dan mensupport mereka. Saat saya ditanya, di pesantren-pesantren praktik homo itu juga merajalela, maka saya jawab: itu tetap melanggar perintah agama.
Demikian pula dengan soal perkawinan beda agama. Sampai sekarang saya belum bisa menerimanya. Alasannya, karena nanti akan mempengaruhi keturunan dan hubungan antar keluarga, bahkan mungkin akan ada pengucilan. Kalau laki-lakinya saat ijab kabul mengaku Islam lalu sesudahnya tidak, maka bagi saya pasangan itu berarti sudah melakukan praktik zina.
Hemat saya, modern itu tak berarti kita harus ikut arus orang lain. Modern itu bagi saya adalah bisa menerima perubahan, asalkan masih dalam konteks tidak melanggar norma yang diyakini. Mungkin orang menganggap saya kolot, terserah!. Kita punya gendang sendiri dan harus menari dengan gendang sendiri. Jangan sampai kita menari dengan gendang orang lain!
(Ditulis oleh: Neng Dara Affiah)

sumber : http://pcnukabtegal.or.id/?option=sej_fat