Minggu, 11 Maret 2012

NU Dukuhwaru Punya BMT Sendiri


Tegal - Masyarakat Dukuhwaru kini tidak perlu jauh-jauh berhubungan dengan lembaga keungan syariah karena kini Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Dukuhwaru telah mendirikan lembaga keuangan syariah KSU Kowanu BMT SM NU kantor cabang Dukuhwaru. BMT yang didirikan dengan tujuan memberdayakan ekonomi kerakyatan ini  diresmikan Sabtu (10/3) di kantornya jalan raya Slawi-Jatibarang kilometer 5 nomer 62 Gumayun kecamatan Dukuhwaru kabupaten Tegal.

Sabtu, 10 Maret 2012

SEJARAH IPPNU

Sejarah Singkat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul 'Ulama
Bila Presiden RI pertama, Ir Soekarno, pernah mengatakan bahwa “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah” dan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak akan lupa pada sejarah pendahulunya”. Maka demikian pula seharusnya dalam misi perjuangan IPPNU. Roh dari para pendahulu yang demikian berjasa harus selalu mengilhami perjuangan masa kini, tidak akan lupa seorang pemimpin kepada sejarah yang telah membesarkan nama organisasi yang dipimpinnya.

Sejarah kelahiran IPPNU dimulai dari perbincangan ringan oleh beberapa remaja putri yang sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta, tentang keputusan Muktamar NU ke-20 di Surakarta. Maka perlu adanya organisasi pelajar di kalangan Nahdliyat. Hasil obrolan ini kemudian dibawa ke kalangan NU, terutama Muslimat NU, Fatayat NU, GP. Ansor, IPNU dan Banom NU lainnya untuk membentuk tim resolusi IPNU putri pada kongres I IPNU yang akan diadakan di Malang. Selanjutnya disepakati bahwa peserta putri yang akan hadir di Malang dinamakan IPNU putri.

Dalam suasana kongres, yang dilaksanakan pada tanggal 28 Februari – 5 Maret 1955, ternyata keberadaan IPNU putri masih diperdebatkan secara alot. Rencana semula yang menyatakan bahwa keberadaan IPNU putri secara administratif menjadi departemen dalam organisasi IPNU. Namun, hasil pembicaraan dengan pengurus teras PP IPNU telah membentuk semacam kesan eksklusifitas IPNU hanya untuk pelajar putra. Melihat hasil tersebut, pada hari kedua kongres, peserta putri yang terdiri dari lima utusan daerah (Yogyakarta, Surakarta, Malang, Lumajang dan Kediri) terus melakukan konsultasi dengan jajaran teras Badan Otonom NU yang menangani pembinaan organisasi pelajar yakni PB Ma’arif (KH. Syukri Ghozali) dan PP Muslimat (Mahmudah Mawardi). Dari pembicaraan tersebut menghasilkan beberapa keputusan yakni:

1. Pembentukan organisasi IPNU putri secara organisatoris dan secara administratif terpisah dari IPNU
2. Tanggal 2 Maret 1955 M/ 8 Rajab 1374 H dideklarasikan sebagai hari kelahiran IPNU putri.
3. Untuk menjalankan roda organisasi dan upaya pembentukan-pembentukan cabang selanjutnya ditetapkan sebagai ketua yaitu Umroh Mahfudhoh dan sekretaris Syamsiyah Mutholib.
4. PP IPNU putri berkedudukan di Surakarta, Jawa Tengah.
5. Memberitahukan dan memohon pengesahan resolusi pendirian IPNU putri kepada PB Ma’arif NU. Selanjutnya PB Ma’arif NU menyetujui dan mengesahkan IPNU putri menjadi Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU).

Dalam perjalanan selanjutnya, IPPNU telah mengalami pasang surut organisasi dan berbagai peristiwa nasional yang turut mewarnai perjalanan organisasi ini. Khususnya di tahun 1985, ketika pemerintah mulai memberllakukan UU No. 08 tahun 1985 tentang keormasan khusus organisasi pelajar adalah OSIS, sedangkan organisasi lain seperti IPNU-IPPNU, IRM dan lainnya tidak diijinkan untuk memasuki lingkungan sekolah. Oleh karena itu, pada Kongres IPPNU IX di Jombang tahun 1987, secara singkat telah mempersiapkan perubahan asas organisasi dan IPPNU yang kepanjangannya “Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama” berubah menjadi “Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama”.

Selanjutnya, angin segar reformasi telah pula mempengaruhi wacana yang ada dalam IPPNU. Perjalanan organisasi ketika menjadi “putri-putri” dirasa membelenggu langkah IPPNU yang seharusnya menjadi organisasi pelajar di kalangan NU. Keinginan untuk kembali ke basis semula yakni pelajar demikian kuat, sehingga pada kongres XII IPPNU di Makasar tanggal 22-25 Maret tahun 2000 mendeklarasikan bahwa IPPNU akan dikembalikan ke basis pelajar dan penguatan wacana gender.

Namun, pengembalian ke basis pelajar saja dirasa masih kurang. Sehingga pada Kongres ke XIII IPPNU di Surabaya tanggal 18-23 Juni 2003, IPPNU tidak hanya mendeklarasikan kembali ke basis pelajar tetapi juga kembali ke nama semula yakni “Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama”. Dengan perubahan akronim ini, IPPNU harus menunjukkan komitmennya untuk memberikan kontribusi pembangunan SDM generasi muda utamanya di kalangan pelajar putri dengan jenjang usia 12-30 tahun dan tidak terlibat pada kepentingan politik praktis yang bisa membelenggu gerak organisasi. Namun perlu juga dipahami bahwa akronim “pelajar” lebih diartikan pada upaya pengayaan proses belajar yang menjadi spirit bagi IPPNU dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan seluruh komponen masyarakat Indonesia dengan mengedepankan idealisme dan intelektualisme .

Visi Misi IPPNU

Visi perjuangan IPPNU adalah terbentuknya kesempurnaan pelajar putri Indonesia yang bertakwa, berakhlakul karimah, berilmu dan berwawasan kebangsaan. Yang kemudian dijabarkan dalam misi perjuangannya yakni:

* Membangun kader NU yang berkualitas, berakhlakul karimah, bersikap demokratis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
* Mengembangkan wacana dan kualitas sumberdaya kader menuju terciptanya kesetaraan gender.
* Membentuk kader yang dinamis, kreatif dan inovatif.

Sifat, Fungsi, Azas dan Aqidah

a. Sifat

IPPNU bersifat keterpelajaran, kekeluargaan , kemasyarakatan dan keagamaan.

b. Fungsi

o Wadah berhimpun pelajar Nu untuk melanjutkan semangat jiwa dan nilai-nilai nahdliyin

o Wadah komunikasi pelajar NU dalam pelaksanaan dan pengembangan syariat Islam

o Wadah aktualisasi pelajar NU dalam pelaksanaan dan pengembangan syaria’at Islam

c. Azas

Berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

d. Aqidah

Beraqidah Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal jama’ah dengan mengikuti salah satu madzhab hanafi, syafi’i, maliki dan hambali

Tujuan

Ø Membangun kader NU yang berkualitas, berakhlakul karimah, bersifat demokratis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ø Mengembangkan wacana dan kualitas sumber daya kader menuju terciptanya kesetaraan gender.

Ø Membentuk kader yang dinamis, kreatif dan inovatif.

sumber : http://pcnukabtegal.or.id/?option=sej_ippnu

SEJARAH IPNU

Sejarah Singkat Ikatan Pelajar Nahdlatul 'Ulama
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (disingkat IPNU) adalah badan otonom Nahldlatul Ulama yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan NU pada segmen pelajar dan santri putra. IPNU didirikan di Semarang pada tanggal 20 Jumadil Akhir 1373 H/ 24 Pebruari 1954, yaitu pada Konbes LP Ma’arif NU. Pendiri IPNU adalah M. Shufyan Cholil (mahasiswa UGM), H. Musthafa (Solo), dan Abdul Ghony Farida (Semarang).

Ketua Umum Pertama IPNU adalah M. Tholhah Mansoer yang terpilih dalam Konferensi Segi Lima yang diselenggarakan di Solo pada 30 April-1 Mei 1954 dengan melibatkan perwakilan dari Yogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri.
Berawal dari ide para putra Nahdlatul Ulama, yakni pelajar dan santri pondok pesantren untuk mendirikan suatu kelompok atau perkumpulan .
• Pada tahun 1939 lahir PERSANO (Persatoean Santri Nahdlatoel Oelama).
• Pada tahun 1947 Lahir IMNU (Ikatan Murid Nahdlatul Ulama) di Malang.
• Pada tahun 1950 berdiri IMNU (Ikatan Mubaligh Nahdlatul Ulama di Semarang.
• PARPENO (Persatoean Pelajar Nahdlatoel Oelama) di Kediri.
• Di Bangil berdiri Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Ulama.
Namun organisasi-organisasi yang telah berdiri di atas masih berjuang sendiri-sendiri dan tidak mengenal di antara satu sama lain.
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, maka Almarhum Tholcha Mansyur (Malang), Sofyan Cholil (Jombang), H. Mustamal (Solo) bermusyawarah untuk mempersatukan organisasi-organisasi tersebut dalam satu wadah, satu nama dan satu faham dengan nama IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) saat berlangsung kongres LP Ma’arif di Semarang pada tanggal 24 Februari 1954/20 Jumadil akhir 1373 Hijriyah.
Pada kongres ke VI di Surabaya IPNU menjadi badan otonom NU (Nahdlatul Ulama). Sehingga IPNU Berhak mengatur rumah tangganya sendiri baik ke luar maupun ke dalam, tidak lagi tergantung kepada kebijakan LP Ma’arif.
Pada perkembangan selanjutnya IPNU berubah nama menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama saat kongres ke X di Jombang disebabkan organisasi pelajar yang diakui pemerintah hanya OSIS sebagai organisasi intra sekolah dan Pramuka sebagai organisasi ekstra sekolah. Sehingga ladang garap IPNU tidak hanya pelajar dan santri saja, tetapi juga pemuda, remaja dan mahasiswa.
Di dalam kongres XIV tanggal 18 – 24 Juni 2003 di Surabaya IPNU sepakat untuk kembali ke habitatnya semula dengan berganti nama menjadi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dengan orientasi pelajar, santri dan mahasiswa.
Lahirnya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan wadah pengkaderan bagi generasi muda NU yang bersumber dari kalangan pesantren dan pendidikan umum, yang diharapkan dapat berkiprah di berbagai bidang, baik politik (kebangsaan), birokrasi, maupun bidang-bidang profesi lainnya. Pada awalnya embrio organisasi ini adalah berbagai organisasi atau asosiasi pelajar dan santri NU yang masih bersifat lokal dan parsial.
Pada tahun 1988, sebagai implikasi dari tekanan rezim Orde Baru, IPNU mengubah kepanjangannya menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama. Sejak saat itu, segmen garapan IPNU meluas pada komunitas remaja pada umumnya. Pada Kongres XIV di Surabaya pada tahun 2003, IPNU kembali mengubah kepanjangannya menjadi “Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama”. Sejak saat itu babak baru IPNU dimulai. Dengan keputusan itu, IPNU bertekad mengembalikan basisnya di sekolah dan pesantren.
Tujuan IPNU
Terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah swt., berilmu, berakhlaq mulia, dan berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Di bidang pendidikan IPNU mempunyai tujuan:
• Untuk memelihara rasa persatuan dan kekeluargaan di antara pelajar umum, santri dan mahasiswa.
• Membina dan meningkatkan pendidikan dan kebudayaan Islam.
• Meningkatkan harkat masyarakat Indonesia yang berasusila dan mengabdi kepada agama, bangsa dan negara.
Trilogi IPNU
Konsep dasar perjuangan IPNU di masyarakat pelajar
Belajar – Berjuang – Bertaqwa
Citra Diri IPNU
Citra diri IPNU & IPPNU dilandasi oleh pokok-pokok pikiran bahwa manusia bertanggung jawab melaksanakan misi khalifah, yaitu memelihara, mengatur, dan memakmurkan bumi. Makna dan fungsi manusia sebagai khalifah memiliki dua dimensi, yaitu dimensi sosial (horizontal) dan dimensi ilahiah (vertikal)
  1. Sosial bermakna mengenal alam, memikirkannya, dan memanfaatkan alam demi kebaikan dan ketinggian derajat manusia sendiri.
    Ilahiah yaitu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan Allah SWT.
  2. Secara sosiologis manusia merupakan suatu komunitas yang memiliki nila-nilai kemanusiaan (moral, nilai sosial dan nilai keilmuan)
Visi IPNU adalah terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak mulia dan berwawasan kebangsaan serta bertanggungjawab atas tegak dan terlaksananya syari’at Islam menurut faham ahlussunnah wal jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mewujudkan visi tersebut, IPNU melaksanakan misi: (1) Menghimpun dan membina pelajar Nahdlatul Ulama dalam satu wadah organisasi; (2) Mempersiapkan kader-kader intelektual sebagai penerus perjuangan bangsa; (3) Mengusahakan tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan program perjuangan sesuai dengan perkembangan masyarakat (maslahah al-ammah), guna terwujudnya khaira ummah; (4) Mengusahakan jalinan komunikasi dan kerjasama program dengan pihak lain selama tidak merugikan organisasi.

Sebagai salah satu perangkat organisasi NU, IPNU menekankan aktivitasnya pada program kaderisasi, baik pengkaderan formal, informal, maupun non-formal. Di sisi lain, sebagai organisasi pelajar, program IPNU diorientasikan pada pengembangan kapasitas pelajar dan santri, advokasi, penerbitan, dan pengorganisasian pelajar.
Kondisi IPNU Pra Khittah NU
IPNU telah melangkah menuju kemajuan dan kiprahnya telah diakui masyarakat. Namun pada perkembangannya tidak dapat mencapai puncak programnya, karena NU sebagai organisasi induknya pada saat itu masih terbawa arus politik sehingga ummat tidak menjadi perhatian utama.
IPNU Pasca Khittah NU
Perkembangan pasca khittah NU dan Kongres Jombang sangat menggembi-rakan karena khittah mampu mencipatkan iklim yang kondusif bagi pengem-bangan organisasi.
Namun IPNU menyadari bahwa sumbangannya sendiri dan masyarakat luas belum banyak. Dan generasi muda sebagai tenaga potensial pembangunan nasional membutuhkan pembinaan, maka IPNU memandang mendesak adanya konsep Citra Diri IPNU dalam rangka meningkatkan keperansertaannya dalam pembangunan bangsa. Alumni IPNU yang Menjadi Orang Besar
IPNU sebagai salah satu organisasi pelajar yang berskala nasional telah menumbuhkan berbagai tokoh-tokoh yang mempunyai peran penting dalam kemajuan Bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam. Tokoh-tokoh tersebut antara lain:
  1. Bapak KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
    • Mantan ketua IPNU Komisariat PP Tambakberas Jombang
    • Mantan Presiden RI
    • Ketua Dewan Syuro PKB
  2. Bapak Prof. Dr. KH. M. Tolhah Hasan (Singosari)
    • Duduk sebagai Ketua cabang IPNU Malang ketika masih di bangku SLTP
    • Mantan Menteri Agama (Kabinet Indonesia Bersatu-Era Gus Dur)
    • Pernah menghadap Bupati Malang dengan hanya memakai celana pendek (seragam SLTP pada waktu itu)
  3. Bapak Dr. KH. A. Hasyim Muzadi (Malang)
    • Mantan Ketua Cabang Tuban
    • Ketua Pengurus Besar NU sekarang di Jakarta
    • Sekjen ICIS (International Conference of Islamic Scholars – Forum silaturahmi ulama & cendekiawan Islam sedunia)
  4. Bapak Hamzah Haz
    • Mantan ketua Pengurus Cabang NU Kutai
    • Mantan Wakil Presiden RI
    • Ketua Umum DPP PPP
    Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.
Kini IPNU telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah di tingat provinsi dan 374 Pimpinan Cabang di tingkat kabupaten/kota. Sampai dengan tahun 2008, anggota IPNU telah mencapai lebih dari 2 juta pelajar santri yang telah tersebar di seluruh Indonesia.(Diambil dari   http://majelis-alumni-ipnu.org/index.php?option=com_content&view=article&id=2&Itemid=5 serta berbagai sumber lain)

SEJARAH FATAYAT NU

Sejarah Singkat Fatayat Nahdlatul 'Ulama
Latar belakang berdirinya Fatayat sebenarnya tak pernah lepas dari faktor pendidikan, khususnya pendidikan untuk anak-anak perempuan dan keagamaan. Baik pendidikan formal maupun non formal.
Selain menyangkut soal pendidikan, ketika itu juga kita memberikan perhatian untuk menggalang kerja sama dengan unsur-unsur kepemudaan lain. Dulu ada forum untuk Ormas Pemuda Islam. Jika ada masalah, kita bertemu di forum tersebut sebelum diselesaikan ke forum yang lebih besar. Forum-forum kepemudaan Islam ini pula yang menjadi embrio lain dari KNPI. Pada tahun 1954, saat Muslimat membicarakan perkawinan di bawah umur dan pemberantasan buta huruf, Fatayat terlibat juga secara intensif. Ada pleno dimana Fatayat-Muslimat bergabung. Kemajuan pemikiran yang muncul saat itu adalah adanya keputusan bahwa kalangan Muslimat sudah harus diberi kesempatan sebagai pemimpin publik dalam arti sesungguhnya. Bukan saja di intern Muslimat, tapi di masyarakat secara luas. Karena itu, sudah muncul tuntutan agar kalangan Muslimat juga berhak dicalonkan menjadi anggota legislatif. Pada tahun 1955, sudah ada wakil Muslimat yang duduk di DPR-RI, yakni Ibu Machmudah Mawardi dan Ibu Asmah Syahruni. Pada Muktamar NU tahun 1957, diputuskan secara resmi keterlibatan wanita NU di politik, meski pada Pemilu sebelumnya, yaitu tahun 1955, sudah ada anggota legislatif perempuan dari NU yang memperoleh 5 kursi dari fraksi NU. Di Konstituante, seingat saya, bertambah menjadi 9 orang, diantaranya Ibu Nihayah Bakry yang kemudian dikenal dengan Ibu Nihayah Maksum. Menurut saya, untuk situasi saat itu perempuan sudah sangat maju.

Banyak Muslimat NU yang mengambil posisi di legislatif. Ini wajar, karena sejak tahun 1950-an, dalam struktur NU, Muslimat sudah menjadi anggota pleno PBNU. Tahun 1956-an sudah ada anggota Syuriah PBNU dari perempuan, yakni Ibu Khairiyah Hasyim dan Ibu Nyai Fatmah dari Surabaya. Keduanya menjadi a’wan. Tahun-tahun kemudian dilanjutkan oleh Ibu Machmudah Mawardi, yang semula menjadi eksekutif di Departemen Agama (Depag), tapi kemudian ‘hijrah’ ke legislatif. Selain itu, dari tokoh-tokoh Muslimat ada Ibu Aisyah Dahlan, yang pernah menjadi Sekretaris Menteri Agama (Menag) dan Ibu Abidah Maksum dari Jombang yang menjadi hakim agama wanita pertama

Tahun 1962, pada Muktamar PBNU di Solo, muncul perdebatan boleh tidaknya Muslimat menjadi kepala desa (Kades). Waktu itu ada anggota Muslimat yang akan mencalonkan diri sebagai Kades, tapi tak ada rujukannya mengenai dibolehkan atau tidak dalam agama. Keputusan PB Syuriah NU ternyata memperbolehkan. Keputusan itu luar biasa maju, karena Fatayat dan Muslimat di-sah-kan untuk tampil di ruang publik. Pada Muktamar di Solo inilah Fatayat NU resmi menjadi badan otonom (Banom) NU.

Dalam kerangka mendobrak tradisi NU, ibu Ny. S. A. Wahid Hasyim sempat menggugat penggunaan tirai tinggi yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Waktu itu beliau berkata, “Saya nggak mau pakai tirai!”. Maka diaturlah pemisahan laki-laki dan perempuan masih tetap dengan tirai, tapi bukan dengan kain putih, melainkan dengan pot-pot pohon yang diatur rapi, berjajar ke belakangnya. Ada tirai, tapi di sela-sela daunnya kita masih dapat melihat ke bagian laki-laki.

Pemikiran ayah saya juga sejak awal sudah progresif dengan mendirikan Pesantren An-Nizhamiyyah. Bahkan kakek dari pihak ibu, KH. Bisri Syamsuri, sekitar tahun 1926-1927, sudah mendirikan pesantren khusus untuk perempuan di Denanyar, Jombang. Khadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sempat menantang. Tapi jalan terus. Mbah Bisri (KH. Bisri Syamsuri) juga memberi banyak kelonggaran dalam hal pergaulan kepada puteri-puterinya. Longgar dalam pengertian boleh bertemu siapa saja, asal ditemani yang lebih tua Hanya saja, Mbah Bisri itu keras dalam menegakkan aturan agama. Contohnya, ibu saya kawin dengan ayah sudah menjanda, tapi ketika suami pertama yang tidak pernah dikenalnya meninggal, tetap memberlakukan masa iddah kepadanya.

Pada masa pemerintahan Soekarno, peran perempuan sudah maju. Menteri Perburuhan pada masa beliau adalah seorang wanita, Ibu SK Trimurti. Soekarno juga memberi peluang besar bagi perempuan untuk berkarir. Contohnya, Ibu Supeni, yang menjadi Duta Besar Khusus dan pegawai tinggi pendidikan; Ibu Rosiyah Sarjono, yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal Depsos dan kemudian menjadi Menteri Sosial. Bahkan, pada tahun 1948, Ibu Herawati Diah sudah mengikuti Kongres Perempuan India di New Delhi. Berbeda benar dengan pemerintahan Presiden Soeharto pada era Orde Baru, perempuan ditempatkan sebagai ‘pendamping’.

Dalam hal ini, wajar kalau saya menuntut perempuan NU ada dalam kepengurusan PBNU, sebab ketika NU membahas persoalan yang berkaitan dengan perempuan, dan dirinya tidak dilibatkan, maka hal ini tidak adil bagi perempuan. Apalagi jika periode-periode sebelumnya sudah ada perempuan di Syuriah NU. Keterlibatan perempuan di PBNU ini sangat penting untuk mewakili kepentingan Muslimat, Fatayat, IPPNU dan lain-lainya. Tapi tuntutan tersebut belum diterima sebagian besar pengurus PBNU sekarang.

Pada Muktamar NU di Lirboyo, saya berjuang habis-habisan untuk soal keterwakilan perempuan dalam jajaran kepengurusan di PBNU ini. Hanya saja, ketika itu ditolak dan saya merasa salah strategi. Seharusnya para kiai disowani sebagaimana ketika kita mau meng-gol-kan program KB, hingga akhirnya pada 25 September 1969, ada pedoman penyelenggaraan KB di lingkungan keluarga NU. Ketika pendekatan itu tak dilakukan, saya langsung menyadari bahwa ini salah strategi. Apalagi di NU itu tak ada kultur konfrontatif.
 
Pengalaman Pasang-Surut
Pada masa-masa awal kepengurusan di Fatayat, yang menjadi Ketua Umum (Ketum) adalah Muslimat, tapi yang menjadi Sekretaris Umum (Sekum) dari Fatayat; seperti ex offisio. Dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan, Muslimat mendirikan sekolah, tapi guru-gurunya dari Fatayat. Hubungannya dulu seperti adik-kakak saja. Sekarang, agaknya hubungan Muslimat-Fatayat begitu longgar.

Semula Kongres Fatayat–Muslimat menyatu dengan Muktamar NU, tapi tahun 1967 di Surabaya, kongres mulai terpisah. Pertimbangannya, ketika NU membahas suatu persoalan, Muslimat dan Fatayat posisinya hanya sebagai “penggembira”. Lantas, kapan kita dapat mengurusi diri sendiri? Tapi anehnya, sejak tahun 1967-1979 terjadi kevakuman di Fatayat dan Muslimat. Sebabnya, seperti diketahui, hampir seluruh anggota Muslimat-Fatayat adalah guru dan pegawai negeri; dan saat itu diberlakukan praktik monoloyalitas hanya kepada Golkar, dan banyak anggota Fatayat yang dihantui rasa ketakutan untuk menjadi pengurus.

Ada cerita, ketika Ibu Asmah Syahruni dan Ibu H. S.A. Wahid Hasyim ke daerah, sering dikirimi surat penolakan untuk datang ke rumah pengurus Muslimat. Misalnya, mantan Ketua Muslimat Ponorogo menolak didatangi karena ada anaknya yang menjadi lurah. Daripada membahayakan anaknya yang lurah itu, dia kirim surat yang isinya: “Saya masih tetap cinta Muslimat, tapi jangan datang ke rumah saya.” Suasananya sampai seperti itu dan dialami oleh organisasi-organisasi yang lain. Jadi, masa-masa surutnya sebenarnya bukan karena faktor internal, tapi faktor eksternal. Karena situasi politik yang mengakibatkan kevakuman itu terjadi.
Secara internal, Fatayat pada waktu itu sebenarnya tidak ada masalah. Masih ada arisan antarpengurus, peringatan hari-hari besar Islam, dan pelbagai aktivitas keagamaan lainnya. Hanya saja kepengurusannya di beberapa daerah menjadi vakum. Jadi, wajar saja kalau pada saat itu ada beberapa aktivis NU, termasuk Fatayat dan Muslimat kemudian masuk Golkar dengan alasan mencari aman.

Pada Muktamar NU di Semarang tahun 1979, Kongres Muslimat-Fatayat digabung lagi. Perubahan terjadi di Fatayat NU. Sebagian besar pengurus PP Fatayat merasa sudah terlalu tua menjadi Fatayat. Terjadi alih generasi dari Ibu Malichah Agus ke Ibu Mahfudhoh.
Perubahan drastis dimulai saat Fatayat dipimpin Ibu Mahfudhoh. Pada masa kepemimpinan beliau, Fatayat mempunyai program yang disebut: Kelangsungan Hidup Anak (KHI). Program itu sebenarnya punya Muslimat, Pembinaan Karang Balita, tapi kemudian diserahkan ke Fatayat dan diformulasikan dalam bentuk kerja sama dengan UNICEF dan DEPAG dalam bentuk KHI. Dokumen tertulis penyerahannya ada.

Dalam pelaksanaan KHI, ada dana untuk pengurus. Saya melihat sebagai awal perubahan karena Fatayat akhirnya mengetahui uang dan ukurannya semua uang, sehingga melupakan asal muasal jati dirinya. Perubahan lain adalah kerenggangan hubungan Fatayat-Muslimat. Tak ada hubungan yang kental lagi sebagaimana sebelumnya. Selain itu, mulai terjadi konflik internal antarMuslimat-Fatayat. Semua itu berlangsung sampai sekarang. Mungkin saja sumber konfliknya hilang, tapi yang tersisa hingga sekarang adalah faktor kedekatannya pun hilang. Apalagi Fatayat merasa sudah sejajar dengan Muslimat dan lembaga-lembaga otonom lainnya. Padahal, Fatayat lahir karena Muslimat, bukan karena NU! Ketika Fatayat menjadi badan otonom, dan bukan lagi sebagai subordinat Muslimat, saat itu Kiai Wahab Chasbullah mengatakan: “Opo Fatayat itu, digendong kok mbrosot ae!”. Maksudnya, Fatayat itu dulu digendong-gendong, direngkuh-rengkuh, tapi ‘kok maunya memisahkan diri saja. Itu yang tak terekam dalam sejarah Fatayat yang sesungguhnya.

Pada kepengurusan Dr. Sri Mulyati Asrori dan Ermalena HS, tampaknya Fatayat berkeinginan kuat untuk mengembangkan diri. Networking dibangun. Tetapi pada sisi lain, organisasi Fatayat sudah jauh dari semangat awal pendirian, yakni memelihara budaya Islam dan kultur santri.
Ketika saya menjadi Ketua Umum Muslimat, saya selalu mengundang teman-teman dari Fatayat, IPPNU, KORPRI, untuk bincang-bincang di Kantor PP Muslimat, supaya ada tetap sambung rasa. Tradisi itu sebelumnya sudah dilakukan oleh Dr. Fahmi Saefuddin dan Ibu Sholehah Wahid Hasyim. Bahkan, dulu ada semacam lembaga koordinasi perempuan NU yang melibatkan Muslimat, Fatayat, dan IPPNU.

Saya ingin melihat Muslimat-Fatayat sekarang ini kedekatannya seperti itu. Ini memang perlu transformasi pemikiran. Barangkali yang harus disadari: Fatayat mungkin jauh lebih maju pemikirannya, tapi Muslimat lebih kaya dalam pengalaman. Pada titik ini perlu sinergi yang lebih baik.
Terus terang, saya kagum sekali pada adik-adik Fatayat sekarang yang pemikirannya begitu fresh, tapi bisa turn in dalam masalah kemasyarakatan. Dulu kami merasa sudah sangat maju, tapi ternyata sekarang mereka justru lebih maju.
Hemat saya, dulu itu kerja sama terjalin dengan baik karena ada unsur keikhlasan. Sekarang ini tampaknya keikhlasan sudah pudar. Keikhlasan yang saya maksudkan adalah: keikhlasan untuk memimpin, keikhlasan untuk dipimpin. Juga keikhlasan untuk saling mengambil manfaat secara bersama-sama. Sekarang? Saya rasa sudah tak ada lagi….
 
Jaringan Kerja Fatayat
Sekitar tahun 1960-an, Ibu Machmudah Mawardi, Ibu S. A. Wahid Hasyim, Ibu Syamsurizal, Ibu Pudjo Utomo, dan lain-lain, mendirikan Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) sebagai wadah persatuan wanita-wanita Muslim. Di BMOIWI ini Fatayat juga bergabung untuk memperjuangkan kepentingan perempuan dan Islam.
Di dalam sebuah organisasi persatuan pemuda Islam (gabungan pemuda Islam), Fatayat pun terlibat aktif. Demikian pula dalam Kongres Pemuda yang terdiri dari unsur-unsur Pemuda, seperti Pemuda Marhaen, GP Ansor, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Sosialis, dan lain-lain.
Kenapa Fatayat harus ada di mana-mana? Fatayat mempunyai dua muka yang tak terpisahkan: keperempuanan dan kepemudaan. Karena itu dia aktif di BMOIWI dan KNPI. Bahkan, sejak tahun 1988-an, Fatayat masuk ke Kowani. Kita dapat bekerja sama dengan mereka, ketika kita menghadapi konfrontasi dengan Malaysia, Fatayat dan Muslimat aktif sebagai sukarelawan.
 
Fatayat Sekarang
Menurut saya, Fatayat sekarang terlalu banyak berorientasi keluar, sehingga pembinaan internal kurang sekali. Saya tahu karena sering ke daerah, ketemu dengan para pengurus wilayah atau cabang.
Tapi yang menarik dari Fatayat sekarang, sebagaimana pandangan teman-teman dari kalangan LSM –bukan pandangan saya–, Maria Ulfah itu pendobrak ‘kebekuan’ internal Fatayat. Lihat saja beda Muslimat dan Fatayat tentang legal abortion (pengesahan aborsi). Muslimat tak setuju, kecuali dengan catatan, tapi Fatayat menganggapnya legal dan layak dilakukan.
Menurut saya, pengesahan aborsi itu boleh saja dilakukan jika sesuai dengan hukum agama dan didasarkan pada kebutuhan. Misalnya, kehamilan yang bisa mengancam kesehatan ibu, maka aborsi bisa dilakukan. Malah saya mengusulkan, ada baiknya pemerintah mempunyai sarana pelayanan resmi dengan prosedur yang ekstra ketat. Prosesnya juga singkat: cukup disuntik atau disedot. Praktik tersebut telah dilakukan di Turki, sebagaimana yang pernah saya lihat.
Pada sisi lain, saya mungkin termasuk orang yang konservatif juga. Misalnya pada masalah lesbianisme atau homoseksual, saya tak bisa menerimanya, karena Allah tegas-tegas melarang sebagaimana yang terdapat pada kasus Sodom dan Gomorah. Mereka itu harus dirangkul dan disadarkan. Jangan sampai melegalkan dan mensupport mereka. Saat saya ditanya, di pesantren-pesantren praktik homo itu juga merajalela, maka saya jawab: itu tetap melanggar perintah agama.
Demikian pula dengan soal perkawinan beda agama. Sampai sekarang saya belum bisa menerimanya. Alasannya, karena nanti akan mempengaruhi keturunan dan hubungan antar keluarga, bahkan mungkin akan ada pengucilan. Kalau laki-lakinya saat ijab kabul mengaku Islam lalu sesudahnya tidak, maka bagi saya pasangan itu berarti sudah melakukan praktik zina.
Hemat saya, modern itu tak berarti kita harus ikut arus orang lain. Modern itu bagi saya adalah bisa menerima perubahan, asalkan masih dalam konteks tidak melanggar norma yang diyakini. Mungkin orang menganggap saya kolot, terserah!. Kita punya gendang sendiri dan harus menari dengan gendang sendiri. Jangan sampai kita menari dengan gendang orang lain!
(Ditulis oleh: Neng Dara Affiah)

sumber : http://pcnukabtegal.or.id/?option=sej_fat 

SEJARAH GP ANSOR

Sejarah Singkat Gerakan Pemuda Ansor
Kelahiran Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) diwarnai oleh semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan, dan epos kepahlawanan. GP Ansor terlahir dalam suasana keterpaduan antara kepeloporan pemuda pasca-Sumpah Pemuda, semangat kebangsaan, kerakyatan, dan sekaligus spirit keagamaan. Karenanya, kisah Laskar Hizbullah, Barisan Kepanduan Ansor, dan Banser (Barisan Serbaguna) sebagai bentuk perjuangan Ansor nyaris melegenda. Terutama, saat perjuangan fisik melawan penjajahan dan penumpasan G 30 S/PKI, peran Ansor sangat menonjol.
 
Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) dari situasi ”konflik” internal dan tuntutan kebutuhan alamiah. Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh, dan pembinaan kader. KH Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam.

Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH Abdul Wahab –yang kemudian menjadi pendiri NU– membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).
Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab, “ulama besa” sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO (yang kelak disebut GP Ansor) harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar Sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam. Inilah komitmen awal yang harus dipegang teguh setiap anggota ANO (GP Ansor).
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Hubungan ANO dengan NU saat itu masih bersifat hubungan pribadi antar tokoh. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU dengan pengurus antara lain: Ketua H.M. Thohir Bakri; Wakil Ketua Abdullah Oebayd; Sekretaris H. Achmad Barawi dan Abdus Salam.
 
Dalam perkembangannya secara diam-diam khususnya ANO Cabang Malang, mengembangkan organisasi gerakan kepanduan yang disebut Banoe (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama) yang kelak disebut BANSER (Barisan Serbaguna). Dalam Kongres II ANO di Malang tahun 1937. Di Kongres ini, Banoe menunjukkan kebolehan pertamakalinya dalam baris berbaris dengan mengenakan seragam dengan Komandan Moh. Syamsul Islam yang juga Ketua ANO Cabang Malang. Sedangkan instruktur umum Banoe Malang adalah Mayor TNI Hamid Rusydi, tokoh yang namaya tetap dikenang dan bahkan diabadikan sebagai sama salah satu jalan di kota Malang.
Salah satu keputusan penting Kongres II ANO di Malang tersebut adalah didirikannya Banoe di tiap cabang ANO. Selain itu, menyempurnakan Anggaran Rumah Tangga ANO terutama yang menyangkut soal Banoe.
 
Pada masa pendudukan Jepang organisasi-organisasi pemuda diberangus oleh pemerintah kolonial Jepang termasuk ANO. Setelah revolusi fisik (1945 – 1949) usai, tokoh ANO Surabaya, Moh. Chusaini Tiway, melempar mengemukakan ide untuk mengaktifkan kembali ANO. Ide ini mendapat sambutan positif dari KH. Wachid Hasyim, Menteri Agama RIS kala itu, maka pada tanggal 14 Desember 1949 lahir kesepakatan membangun kembali ANO dengan nama baru Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih pupuler disingkat GP Ansor).
 
GP Ansor hingga saat ini telah berkembang sedemikan rupa menjadi organisasi kemasyarakatan pemuda di Indonesia yang memiliki watak kepemudaan, kerakyatan, keislaman dan kebangsaan. GP Ansor hingga saat ini telah berkembang memiliki 433 Cabang (Tingkat Kabupaten/Kota) di bawah koordinasi 32 Pengurus Wilayah (Tingkat Provinsi) hingga ke tingkat desa. Ditambah dengan kemampuannya mengelola keanggotaan khusus BANSER (Barisan Ansor Serbaguna) yang memiliki kualitas dan kekuatan tersendiri di tengah masyarakat.
 
Di sepanjang sejarah perjalanan bangsa, dengan kemampuan dan kekuatan tersebut GP Ansor memiliki peran strategis dan signifikan dalam perkembangan masyarakat Indonesia. GP Ansor mampu mempertahankan eksistensi dirinya, mampu mendorong percepatan mobilitas sosial, politik dan kebudayaan bagi anggotanya, serta mampu menunjukkan kualitas peran maupun kualitas keanggotaannya. GP Ansor tetap eksis dalam setiap episode sejarah perjalan bangsa dan tetap menempati posisi dan peran yang stategis dalm setiap pergantian kepemimpinan nasional.

(Diambil dari http://www.gp-ansor.org/profil/sejarah-berdirinya-ansor oleh Hernoe R)

Sejarah Muslimat NU

Sejarah Singkat Muslimat Nahdlatul 'Ulama

Bulan April merupakan kenangan tentang perjuangan R.A. Kartini, dan juga peringatan hari lahirnya organisasi wanita dari kalangan nadhliyin pada 8 April, yaitu Muslimat NU. Keduanya mempunyai persamaan, yaitu sama-sama memperjuangkan hak-hak wanita.

Dalam panggung sejarah Indonesia, peranan Muslimat NU terhadap kemajuan kaum wanita Indonesia tidaklah sedikit. Bidang-bidang layanan yang menjadi garapannya meliputi kesehatan, pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Menurut Aisyah Hamid Baidhawi dalam makalahnya yang dikutip dalam buku Perempuan dalam Islam terbitan Gramedia, kelahiran organisasi Muslimat Nahdlatul Ulama secara tidak langsung dilatarbelakangi cita-cita R.A. Kartini tentang persamaan hak yang memicu berbagai aktivitas peningkatan posisi dan peran wanita.

Semangat dan perkembangan baru tersebut telah membuka mata para kaum muda terpelajar dalam masalah wanita dan tidak jarang di antara mereka yang memberikan kelonggaran bagi anak-anak perempuan untuk masuk ke sekolah-sekolah, demikian halnya terjadi juga di kalangan umat Islam.

Lembaga pendidikan Islam tertua yang didirikan khusus untuk anak-anak perempuan adalah Sekolah “Diniyah Putri” Padang Panjang di Sumatera Barat. Sekolah ini didirikan oleh Ny. Rahmah El Yunusiah pada tahun 1923.

Setelah itu di Pulau Jawa bermunculan madrasah-madrasah putri. Namun dalam perkembangannya, masih banyak hambatan yang ditemui wanita Islam Indonesia untuk maju, terutama yang datang dari cara pemahaman ajaran agama yang sempit dan tekanan adat-istiadat yang rumit.

Misalnya saja pada tahun 1939 ketika Ir. Soekarno dan istrinya meninggalkan rapat yang diselenggarakan Muhammadiyah sebagai protes atas dikenakannya kain pembatas (tabir) yang memisahkan peserta pria dan wanita. Hal-hal seperti itulah yang mendorong kalangan wanita (yang disebut oleh penulis sebagai kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah) untuk mengorganisasikan diri agar dapat menjawab tantangan yang ada, terutama tantangan yang dihadapi oleh wanita muslim.

Setelah melalui berbagai proses perjuangan, terutama dalam internal organisasi NU, akhirnya pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya, tanggal 5-9 Desember 1940, diputuskan pengesahan Muslimat lengkap dengan Anggaran Dasar dan Pengurus Besar-nya. Namun baru pada Muktamar NU ke-16 di Purwokerto tanggal 29 Maret 1946 Muslimat NU disahkan dan diresmikan sebagai bagian dari NU, yang namanya pada saat itu adalah Nahdhlatul Ulama Muslimat, disingkat NUM.

Sebagaimana NU, Muslimat juga tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan pesantren. Pemimpin Muslimat biasanya adalah istri para pemimpin pesantren. Demikian pula dengan kader-kadernya, yang tidak lain putri-putri kiai atau santri-santri dari pesantren. Struktur organisasi Muslimat sama seperti struktur organisasi pemerintahan, mempunyai pusat kepemimpinan dan cabang-cabangnya hingga tingkat desa/kelurahan.

Sejak kelahirannya pada tahun 1946 hingga 1952, Muslimat menjadi bagian NU. Dari awal tahun 1940 sampai 1952, perjuangan NU ditandai dengan perjuangan kemerdekaan RI. Anggota-anggota NU, termasuk Muslimat, mengambil peran yang cukup penting, seperti di dapur umum, Palang Merah, bahkan sebagai kurir penghubung, bergabung dengan pasukan-pasukan pejuang, seperti Hizbullah, Sabilillah, dan lain-lain.

Pada Muktamar NU ke-19 di Palembang tahun 1952, NU meningkatkan dirinya sebagai partai politik, yang juga mengubah bentuk organisasi Muslimat menjadi Badan Otonom dari NU dengan nama baru Muslimat Nahdlatul Ulama disingkat Muslimat NU. Muktamar NU ke-20 pada tahun 1954 di Surabaya adalah kongres pertama Muslimat NU sebagai Badan Otonom dari NU.

Muslimat NU membahas berbagai masalah wanita, antara lain perkawinan di bawah umur. Perjuangan Muslimat NU dalam masalah perkawinan dilakukan dengan perannya dalam pembentukan BP4 (Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian).

Dalam kongresnya yang ketujuh di Jakarta tahun 1959, Muslimat baru menghilangkan tabir dari arena kongres. Selain itu, keputusan penting yang dicapai adalah mengajukan pernyataan kepada anggota PBNU agar anggota Muslimat dapat dicalonkan sebagai calon prioritas menjadi anggota DPR, DPRD, dan Konstituante.

Muslimat bergabung dengan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) sejak tahun 1956. Kowani adalah kelanjutan dari Kongres Perempoean Indonesia, yang diselenggarakan pada tahun 1928. Kehadiran Muslimat di Kowani ternyata mendapat respons positif dan menempati posisi yang tidak mengecewakan. Peran Muslimat di Kowani mulai menonjol dalam dekade 1960-an ketika mendesak pemerintah untuk membubarkan TK Melati yang dikelola oleh Gerwani/PKI dan mengambil alih TK tersebut.

Peran Muslimat selanjutnya yaitu pada tahun 1967 ketika Ketua Umum Muslimat saat itu Ny. Machmudah Mawardi mendirikan Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) sebagai wadah untuk mempersatukan gerak langkah organisasi-organisasi wanita Islam dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama.
Perjuangan Kiai Dahlan

Sementara sejarah pergerakan wanita NU memiliki akar kesejarahan panjang dengan pergumulan yang amat sengit yang akhirnya memunculkan berbagai gerakan wanita, baik Muslimat, Fatayat, maupun Ikatan Pelajar Putri NU.

Sejarah mencatat, kongres NU di Menes, Pandeglang, Banten, tahun 1938 merupakan forum yang memiliki arti tersendiri bagi proses terbentuknya organisasi Muslimat NU.

Sejak kelahirannya di tahun 1926, NU adalah organisasi yang anggotanya hanyalah kaum laki-laki belaka. Para ulama  NU saat itu masih berpendapat, wanita belum masanya aktif di organisasi. Anggapan bahwa ruang gerak wanita cukuplah di rumah saja masih kuat melekat pada umumnya warga NU saat itu. Hal itu terus berlangsung hingga terjadi polarisasi pendapat yang cukup hangat tentang perlu-tidaknya wanita berkecimpung dalam organisasi.

Dalam kongres itu, untuk pertama kalinya tampil seorang muslimat NU di atas podium, berbicara tentang perlunya wanita NU mendapatkan hak yang sama dengan kaum pria dalam menerima didikan agama melalui organisasi NU.

Verslag (berita, laporan) Kongres NU XIII mencatat, "Pada hari Rebo ddo: 15 Juni '38 sekira poekoel 3 habis dhohor telah dilangsoengkan openbare vergadering (dari kongres) bagi kaoem iboe.

Tentang tempat kaoem iboe dan kaoem bapak jang memegang pimpinan dan wakil-wakil pemerintah adalah terpisah satoe dengan lainnja dengan batas kain poetih."

Sejak kongres NU di Menes, wanita telah secara resmi diterima menjadi anggota NU, meskipun sifat keanggotannya hanya sebagai pendengar dan pengikut, tak diperbolehkan menduduki kursi kepengurusan. Hal seperti itu terus berlangsung hingga Kongres NU XV di Surabaya tahun 1940.

Dalam kongres tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang usulan Muslimat yang hendak menjadi bagian tersendiri, mempunyai kepengurusan tersendiri dalam tubuh NU. Dahlan termasuk pihak-pihak yang secara gigih memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima peserta kongres. Begitu tajamnya pro-kontra menyangkut penerimaan usulan tersebut, sehingga kongres sepakat menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk diputuskan.

Sehari sebelum kongres ditutup, kata sepakat menyangkut penerimaan Muslimat belum lagi didapat. Dahlan-lah yang berupaya keras membuat semacam pernyataan penerimaan Muslimat untuk ditandatangani Hadlratus Syaikh K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. A. Wahab Hasbullah. Dengan adanya secarik kertas sebagai tanda persetujuan kedua tokoh besar NU itu, proses penerimaan dapat berjalan dengan lancar.

Bersama A. Aziz Dijar, Dahlan pulalah yang terlibat secara penuh dalam penyusunan peraturan khusus yang menjadi cikal bakal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU di kemudian hari. Bersamaan dengan hari penutupan kongres NU XVI, organisasi Muslimat NU secara resmi dibentuk, tepatnya tanggla 29 Maret 1946/26 Rabiul Akhir 1365.

Sebagai ketuanya dipilih Chadidjah Dahlan, asal Pasuruan, istri Dahlan. Ia salah seorang wanita yang berada di lingkungan NU itu selama dua tahun, yakni sampai Oktober 1948. Sebuah rintisan yang sangat berharga dalam memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya di lingkungan NU, sehingga keberadaannya diakui dunia internasional, terutama dalam kepeloporannya di bidang gerakan wanita.

Kini, setelah melewati kurun waktu puluhan tahun, Muslimat NU menjadi organisasi wanita yang "raksasa", baik dari segi jumlah anggota maupun medan garapan dan peranannya. Para perintis, pendiri, dan penerus organisasi pada angkatan pertama, mungkin tidak pernah membayangkan bahwa kelak organisasi wanita di kalangan NU itu bakal tumbuh seperti sekarang ini.

Muslimat NU kini membawahkan 13.568 TPQ, 9.800 TK/RA, 4.657 playgroup. Sementara Yayasan Hidmat NU membawahkan 38.000 majelis ta’lim. Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU mengelola 103 panti asuhan, 74 BKIA/rumah bersalin/rumah sakit, 11 Balai Latihan Kerja. Selain itu ada juga Yayasan Haji Muslimat NU, yang menaungi 146 Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). 

Sementara itu Induk Koperasi An Nisa membawahkan sembilan pusat koperasi dan 131 koperasi primer berbadan hukum, outlet pemasaran sektor agro dan 17 rintisan.

"Kami sekarang sedang mempersiapkan sebuah holding company yang diharapkan pada tahun 2021 sudah bisa melakukan initial public offering, dengan nama An Nisa Putri Mandiri," kata Khofifah Indar Parawarsa, ketua umum Muslimat NU.

Muslimat NU juga punya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Majelis Ta’lim sebanyak 29 rintisan, yang antara lain majelis ta’lim berbasis wirausaha atau simpan pinjam, serta 79 rintisan program life skill untuk anak putus sekolah atau mereka yang berada dalam usia produktif.

Selain memberikan layanan yang bersifat institusional permanen, Muslimat NU, dalam mengejar pencapaian target tujuan pembangunan milenium atau Millenium Development Goals (MDGs), juga melakukan berbagai program, baik terkait dengan pemberantasan buta huruf maupun penyelamatan lingkungan.

(diambil dari website  http://majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/530-kiprah-muslimat-nu-berbakti-demi-negeri)